Blog ini menyediaakan berbagai macam Aneka Artikel tentang dunis kesehatan, semoga yang sedikit ini membawa banyak manfaat bagi kita semua.
 

TERAPI ANTIBIOTIK GOLONGAN BETALAKTAM PADA OTITIS MEDIA SUPURATIF AKUT PERFORATA

TERAPI ANTIBIOTIK GOLONGAN BETALAKTAM PADA OTITIS MEDIA SUPURATIF AKUT PERFORATA
Oleh :
TUTUT SRIWILUDJENG T.
RSUD Dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto
PENDAHULUAN
            Otitis media supuratif akut (OMSA) merupakan infeksi akut yang mengenai mukopiriosteum kavum timpani dengan disertai pembentukan sekret purulen (Harmadji, Soepriyadi, Wisnubroto, 2005). Bakteri penyebab tersering Streptococcus Pneumoniae dan Haemophillus Influenzae, bakteri lain yang lebih jarang Staphylococcus Aureus, Streptococcus Pyogenes, Branhamella Catarhalis (Harmadji, Soepriyadi, Wisnubroto, 2005). Pada kultur isolate kavum timpani 24 penderita OMSA didapatkan Streptococcus Pneumoniae sebanyak 54%, Haemophillus Influenzae 25% dan Branhamella Catarhalis 12,5% (Rodique, et al, 1995). Pada OMSA perforate didapatkan membran timpani mengalami perforasi spontan atau akibat tindakan parasintesis, disertai keluarnya cairan mukopurulen, perforasi membran timpani selalu di pars tensa dan berukuran kecil sampai besarnya cukup untuk keluarnya sekret (Shambough, Girgis,1991).
            OMSA merupakan penyakit paling umum akibat komplikasi ISPA pada usia anak-anak. Berdasarkan penelitian dari tahun 1977-1983 didapatkan 16.611 anak yang dilahirkan di Malmo, Swedia sebanyak 79% dari laki-laki dana 77% dari perempuan mengalami episode OMSA. Aneka insiden tahunan tertinggi dialami anak-anak berusia 1 tahun (Ingvarsson, Lungdren, Stenstrom, 1990). Di URJ THT-KL RSU Dr Soetomo pada tahun 2003 ada 836 (8,29%) penderita OMSA dan pada tahun 2004 sebanyak 947 (10,6%) penderita OMSA (Laporan tahunan Unit Rawat Jalan THT RSU Dr. Soetomo, 2003).
            Amoksisilin masih merupakan antibiotika pilihan untuk terapi OMSA sesuai pedoman dan terapi di URJ THT-KL RSU Dr. Soetomo. Pemberian amoksisilin pada OMSA perforata masih merupakan standar terapi (Harmadji, Soepriyadi, Wisnubroto, 2005). Amoksisilin efektif terhadap bakteri gram positif maupun gram negatif. Antibiotik ini mempunyai efek bakteriosid pada bakteri yang sedang aktif membelah. Namun saat ini banyak dilaporkan adanya bakteri yang resisten terhadap amoksisilin. efektifitas amoksisilin terhadap OMSA porforata pernah diteliti pada tahun 2007 menunjukkan hasil kesembuhan sekitar 55 (Rusbiantoro, 2007). Sedang pada tahun 1996 pernah dilaporkan kesembuhan OMSA porforata yang diterapi dengan amoksisilin pada hari ke-6 tidak didapatkan otore sebanyak 74,3% (Djokosasono, Jogjohartono, Suprihati, 1996). Di Amerika Serikat berdasarkan penelitian 250 penderita OMSA yang diberi amoksisilin selama 10 hari dievaluasi pada ahri ke-14 didapatkan angka kesembuhan 92,8% (Saux, at al, 2005).
            Pemberian antibiotik pada OMSA sanagt penting untuk mempercepat kesembuhan dan mencegah terjadinya komplikasi. Banyak macam antibiotik yang bisa digunakan salah satunya adalah sefadroksil. Sefadroksil sebagai sefalosporin generasi pertama yang masih jarang dipakai. Penelitian mengenai efektivitas sefadroksil terhadap OMSA belum ditemukan, baik di dalam maupun luar negeri. Sefadroksil secara in vitro bekerja aktif melawan bakteri gram positif tetapi kuarang efektif terhadap gram negatif. Spektrum  anti bakterinya menyerupai spektrum pinisilin yang luas, namun sefadroksil lebih resisten terhadap pinisilinase.secara umum antibiotik ini diindikasikan untuk infeksi telinga, OMSA, infeksi saluran pernafasan bawah dan atas (Snyder, 1982). Sefadroksil bersifat bakterisidal, dengan mengahambat sintesis dinding sel bakteri dan sefadroksil diberikan dua kali sehari peoral.
1.         Anatomi kavum timpani
Kavum timpani (rongga telinga tengah) merupakan ruang udara berdinding enam tetapi tidak teratur bentuknya, memanjang kearah anterior – posterior 15 mm dan vertikal 15mm, mempunyai volume kurang lebih 0,25 cc. dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan batas superior dan inferior membran timpani yaitu epitimpani atau atik, mesotimpani dan hipotimpani (Austin, 1991).

a.          Epitimpani
     Di dalam epitimpani terdapat inkus dan maleus. Di bagian superior dibatasi oleh tegmen timpani, dinding medial atik dibentuk oleh kapsul atik yang ditandai oleh tonjolan kanalis semisirkularis lateral. Pada bagian anterior terdapat bagian ampula kanalis superior, dan lebih anterior ada ganglion genikulatum. Dinding lateral dibentuk oleh Os Skuama. Di bagian posterior atik menyempit menjadi jalan masuk (aditus ad antrum) ke mastoid (Austin, 1991).
b.         Mesotimpani
     Di sebelah medial mesotimpani dibatasi oleh kapsul atik. Tepat disebelah medial membran timpani ada seuatu penonjolan yang melengkung pada bagian basal koklea disebut promontorium. Disebelah posterior promontium pada bagian superior terdapat foramen ovale dan pada bagian inferior terdapat foramen rotundum. Pada foramen  ovale terdapat basis stapes yang terletak pada bidang sagital. Dinding posterior mesotimpani dibentuk oleh tulang yang menutupi saraf  fasial pars desendens, sebelah superior dinding ini terdapat suatu penonjolan berbentuk kerucut disebut eminesia piramid, melindungi muskulus stapedius dan tendonnya (Austin, 1991).
     Suatu ruang yang secara klinis sangat penting ialah sinus posterior atau resesus fasial yang terdapat di sebelah lateral kanalis fasial dan prosesus piramidal, ruang ini memanjang dari ruang telinga tengah postero superior ke aditus ad antrum dan penyakit sering tersembunyi  disini (Austin, 1991).
     Pada dinding anterior mesotimpanum terdapat terdapat orifisium timpani tuba Eustachius pada bagian superior dan membentuk bagian tulang dinding saluran karotis asenden pada bagian inferior (Austin, 1991).
c.          Hipotimpani
     Suatu ruang dangkal yang terletak lebih rendah dari membran timpani. Permukaan tulang pada bagian ini tampak seperti gambaran kerang karena adanya sel-sel udara berbentuk cangkir. Dinding ini menutupi bulbus jugularis (Austin , 1991).

2.         Otitis media supuratif akut
2.1     Batasan
     Otitis media supuratif akut (OMSA) adalah infeksi akut yang mengenai mukoperiosteum kavum dengan disertai pembentukan sekret purulen (Harmadji, Soepriyadi, Wisnubroto, 2005). Berdasarkan hasil laporan the third research conference on Recent advences in otitis media, otitis media akut disebut otitis media purulenta akut atau otitis media supuratif akut (paparella et al, 1985).
     Pada tahun 1980 ad hoc comitte on definition and classification of otitis media and otitis media with effusion mengumumkan tentang batasan akut adalah lamanya sakit sejak awal sampai 3 minggu pertama, 0-21 hari (Senturia et al, 1980).

2.2     Kekerapan
OMSA merupakan penyakit paling umum akibat komplikasi infeksi saluran pernafasan atas pada usia anak. Berdasarkan penelitian dari tahun 1977 sampai dengan 1983, didapatkan 16.611 anak dilahirkan di Malmo, Swedia, sebanyak 79% dari anak laki-laki dan 77% dari anak perempuan tercatat mengalami 13.990 dan 11.921 episode OMSA. Angka insiden tahunan tertinggi dialami anak-anak berusia 1 tahun (Ingvarson, Lungdrem, Stenstrom, 1990)
Di poli klinik THT-KL RSU Dr Soetomo Surabaya, OMSA masih merupakan salah satu penyakit infeksi terbanyak. Pada tahun 2003 pengunjung baru di poliklinik THT-KL, berjumlah 10.083 penderita, sebanyak 863 (8,29%) merupakan penderita OMSA dan memiliki urutan ke- 3 penyakit terbanyak di poliklinik THT-KL. Sedang pada tahun 2004 pengunjung baru berjumlah 8.937 penderita, sebanyak 947 (10,6%) penderita OMSA dan menduduki urutan ke- 2 penyakit terbanyak di URJ THT-KL (Laporan URJ, 2003).
2.4     Etiologi
OMSA terjadi oleh karena perluasan infeksi dari nasofaring dan kavum nasi ke kavum timpani melalui tuba Eustachius. Bakteri penyebab tersering Streptococcus Pneumoniae dan Haemophillus Influenzae, bakteri lain yang lebih jarang Staphylococcus Aureus, Streptococcus Pyogenes, Branhamella Catarrhalis (Harmadji, Soepriyadi, Wisnubroto, 2005). Menurut Rodrique et al (1995) dari kultur isolate kavum timpani 24 penderita OMSA di dapatkan Streptococcus Pneumoniae sebanyak 54%, Haemophillus Influenzae 25% dan Branhamella Catarrhalis 12,5% Siguntang (1996) pada penelitiannya mendapatkan bakteri penyebab OMSA perforata yaitu Pseudomonas Aeruginosa sebanyak 29,41%, Streptococcus Pyogenes 9,8%, Staphylococcus Aureus 7,8%. Pseudomonas Aeruginosa dan Staphylococcus Aureus merupakan bakteri sekunder penyebab OMSA yang berasal dari liang telinga luar (Wlad, 1990). Jenis virus penyebab utama adalah Respiratory Syncytial Virus, Parainfluenzae Virus, Influenza Virus, Entero Virus dan Adeno Virus (Heikkinen Thint, Chonmaitree, 1999).


2.4     Patofisiologi
Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat kuman di nasofaring dan faring. Secara fisiologik aktifitas silia, enzim dan antibody berfungsi sebagai mekanisme pertahanan bila telinga tengah terpapar dengan kuman kontaminan ini pada saat menelan (Paparella, Adams, Levine, 1989).
Gangguan pada tuba Eustachius merupakan faktor penyebab utama terjadinya OMSA, umumnya didahului oleh infeksi saluran pernafasan bagian atas karena virus melalui pembentukan sitokin dan mediator radang, sehingga mukosa menjadi udim, termasuk tuba Eustachius. Udim mukosa tuba Eustachius mengakibatkan obstruksi pada tuba terutama ismus yang merupakan bagian tersempit sehingga terjadi gangguan ventilasi (Paparella, Adams, Levine, 1989; Bluestone, 2001; Harmadji, Soepriyadi, Wisnubroto, 2005). Dalam keadaan normal, telinga tengah merupakan suatu ruang tertutup dan penuh berisi udara. Mukosa telinga tengah secara perlahan-lahan akan menyerap udara dan nitrogen dari telinga tengah sehingga akhirnya tekanan udara dalam telinga akan menurun. Dengan terbukanya tuba Eustachius secara periodik, maka udara akan masuk untuk menyeimbangkan lagi tekanan di telinga tengah. Tuba Eustachius yang buntu menimbulkan tekanan negatif pada telinga tengah dan terjadi vakum (Bluestone, 1993). Hal ini akan menimbulkan perubahan pada mukosa kavum timpani yaitu meningkatnya permeabilitas pembuluh kapiler dan limfe, miningkatnya permeabilitas dinding sel dan poliferasi sel-sel kelenjar mukosa. Perubahan ini menyebabkan cairan masuk ke kavum timpani (transudasi) yang disebut hydrops ex vacuo, akibatnya telinga tengah sangat rentan terhadap infeksi kuman yang datang langsung dari nasofaring (Austin, 1991; Shambough, Girgis, 1991). Infeksi ISPA oleh virus juga berperan menyebabkan penurunan kemampuan pertahanan mukosa saluran pernafasan bagian atas dalam mencegah perpindahan dan penempelan bakteri terutama di nasofaring masuk ke telinga tengah melalui mukosa sehingga menimbulkan supurasi dan terjadi OMA (Kentjono, 2006).

2.5     Gejala Klinis
Gejala otitis media supuratif akut melalui beberapa stadium menurut Shambough, Girgis, (1991) sebagai berikut :
a.          Stadium 1 (Hiperemi)
     Pada stadium ini dimulai dengan hiperemi mukosa tuba Eustachius, kavum timpani dan sel-sel mastoid. Lumen tuba menjadi buntu disertai dengan peningkatan tekanan udara di telinga tengah. Udara di telinga tengah diserap dan menyebabkan tekanan menjadi negatif.
Akibat perbedaan tekanan di kedua sisi membran timpani. Didapatkan rasa penuh di telinga dan gangguan pendengaran konduktif sedang. Pemeriksaan otoskopi tampak membran timpani hiperemi dan retraksi. Bisa terjadi demam dan nyeri telinga tetapi tidak berat.
b.         Stadium 2 (Eksudasi)
Meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh kapiler dan terjadinya vasodilatasi menyebabkan keluarnya cairan yang mengandung serum, febrian, sel darah merah dan polimononuklear ke telinga tengah. Pada saat bersamaan disertai peningkatan produksi mukus dari sel epitel kuboid, sehingga telinga tengah diisi penuh oleh eksudat. Membran timpani tampak bomban. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan pendengaran konduktif dan nyeri telinga yang hebat, disertai demam yang umumnya sangat tinggi terutama pada bayi.
c.          Stadium 3 (supurasi)
Membran timpani mengalami perforasi spontan atau akibat tindakan parasintesis. Adanya keluar cairan mukopurulen dari lubang perforasi. Nyeri telinga dan demam mulai berkurang. Perforasi membran timpani selalu pars tensa dan berukuran kecil sampai besarnya cukup untuk keluarnya eksudat. Ditandai dengan penurunan pendengaran yang menetap.






Gambar 2.1. OMSA perforata (Kavanagh, 2007)
d.         Stadium 4 (Koalesen)
Gejala dan tanda pada stadium ini masih didapatkan adanya sekret mukopurulen selama lebih dari 2 minggu. Nyeri telinga dan mastoid dirasa lebih berat terutama pada malam hari meskipun biasanya lebih ringan daripada stadium eksudasi. Demam berkurang dan masih ditandai adanya penurunan pendengaran konduktif.

2.6     Pengobatan OMSA
Prinsip pengobatan OMSA dengan pemberian antibiotik yang adekuat serta perbaikan drainase. Antibiotik oral lini pertama yang dapat diberikan Amoksisilin 3 x 500 mg perhari atau Eritromisin 3 x 500 mg perhari atau Kotrimoksasol 2 x 480 mg perhari, untuk dosis anak dapat diberiakn Amoksisilin 50 mg/kg BB/hari sama dengan Eritromisin sedangkan Kotrimoksasol 2 x 240 mg perhari (Canafax, Giebink, 1994; Garbutt, et al, 2004; Harmadji, Soepriyadi, Wisnubroto, 2005). Lama pemberian antibiotika 7-10 hari (Harmadji, Soepriyadi, Wisnubroto, 2005). Sedangkan menurut Garbutt et al (2004) antibiotika dapat diberikan selama 12-14 hari pada OMSA tanpa koplikasi. Bila diperlukan dapat dilakukan perbaikan drainase dengan pemberian obat-obatan dekongestan oral/ topikal dan parasentesis/ miringotomi (Austin, 1991; Harmadji, Soepriyadi, Wisnubroto, 2005). Obat dekongestan yang diberikan dapat berupa pseudoefedrin oral 3 x 30-60 mg setiap hari selama 7 hari dan tetes hidung (solusio efedri 1%, oxymetazoline 0,05%). Obat simtomatik terdiri dari analgesik dan antipiretik (asetosal, parasetamol, antalgin) yang dapat diberikan apabila ada gejala (Mulyarjo dkk, 1994; Donaldson, 2004).
Efektifitas amoksisilin terhadap OMSA perforata pernah diteliti pada tahun 2007 menunjukkan hasil kesembuhan sekitar 55% (Rusbiantoro, 2007). Sedangkan pada tahun 1996 pernah dilaporkan kesembuhan OMSA perforata yang diterapi dengan amoksisilin pada hari ke- 6 tidak didapatkan otore sebanyak 74,3% (Djokosasono, Jogjohartono, Suprihati, 1996). Di Amerika Serikat berdasarkan penelitian 250 penderita OMSA yang diberiakan amoksisilin  selama 10 hari dievaluasi pada hari ke- 14 didapatkan angka kesembuhan 92,8% (Saux et al, 2005).
Pemakaian sefadroksil untuk kasus OMSA masih jarang. Demikian pula penelitian tentang penggunaan sefadroksil ini. Meskipun salah satu idikasi pemakaian sefadroksil ialah infeksi telinga termasuk OMSA. Dosis untuk anak ialah 30 mg/ kg/ hari dalam dosis terbagi setiap 12 jam. Dosis untuk orang dewasa ialah 1-2 gram per hari dalam dosis terbagi, tergantung apakah infeksinya ringan atau berat (Snyder, 1982).




3.      Antibiotik golongan betalaktam
3.1  Amoksisilin
Berdasarkan bakteri yang sering menjadi penyebab OMSA, maka amoksisilin merupakan antibiotika lini pertama dan diberikan terutama untuk serangan awal OMSA perforata dan belum pernah mendapatkan pengobatan (Cnafak Giebink, 1994; Harmadji, Soepriyadi, Wisnubroto, 2005; sack, 2005).
Amoksisilin merupakan antibiotika golongan dengan spektrum luas. Penisilin ditemukan pertama kali oleh Fleming dan dikembangkan oleh Florey dengan menggunakan biakan penicillium notatum. Penisilin yang digunakan dalam pengobatan terbagi dalam penisilin alam dan penisilin semisintetik. Penisilin semisintetik diperoleh dengan cara mengubah struktur kimia alam dari inti penisilin yaitu asam 6 – amino penisilat. Penisilin merupakan asam organik yang terdiri dari satu inti siklik dengan satu rantai samping, inti siklik terdiri dari cincin betalaktam dan tiozolidin. Rantai samping merupakan gugus amino bebas yang dapat mengikat berbagai jenis radikal, dengan cara ini maka akan dapat diperoleh berbagai jenis penisilin (Gan, Istiantoro, 1995).






Gambar 3.1. Struktur kimia amoksisilin (Gan, Istiantoro, 1995).

Amoksisilin termasuk penisilin semisintetik yang mempunyai rumus kimia a-amino-p-hydroxybenxyl-penicillin (Gan, Istiantoro, 1995).
Amoksisilin bersifat bakteriosidik yang bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel bakteri. Antibiotika ini akan mempunyai efek bakteriosidik pada bakteri yang sedang aktif membelah. Bakteri yang dalam keadaan metabolisme tidak aktif (tidak membelah) secara praktis tidak dipengaruhi oleh antibiotik ini, kalaupun ada pengaruhnya hanya bersifat bakteriostatik (Gan, Istiantoro, 1995).
Amoksisilin efektif terhadap bakteri baik gram positif maupun gram negatif. Obat ini masih cukup efektif terhadap bakteri penyebab terbanyak OMSA yakni Streptococcus Pneumoniae dan Haemophillus Influenzae. Namun demikian saat ini telah dilaporkan adanya bakteri yang resisten terhadap amoksisilin didasarkan pada produksi penisilinase yang dapat memecah cincin betalaktam, sehingga menjadi menjadi asam penisiloat yang tidak memiliki sifat anti bakteri, terutama staphylococcus (Gan, Istiantoro, 1995; Rodrique et al, 1995). Berdasarkan  penelitian siguntang (1996) kuman aerob yang resisten terhadap amoksisilin sebagai berikut Streptococcus Pneumoniae 22,2%, Haemophillus Influenzae 36,4%, Streptococcus pyogenes 20%, Staphylocossus Aureus 75% dan Pseudomonas Aeruginosa 100%.  Sejak amoksisilia mulai banyak digunakan jenis mikroba yang tadinya sensitif makin lama banyak yang menjadi resisten. Mekanisme resistensi bisa dijelaskan oleh karena kuman gram positif dan mensekresi penisilinase esktraseluler dalam jumlah relative besar dan enzim autosilin kuman tidak dapat bekerja sehingga timbul sifat toleran terhadap obat (Gan, Istiantoro, 1995).
Amoksisilin peroral tidak dipengaruhi oleh asam lambung. Sekitar 75% - 90% diabsorbsi dilambung. Kadar puncak dalam serum sebesar 6-8 mcg/ml, kadar ini dicapai 1-2 jam setelah pemberian amoksisilin 500mg per oral. Absorbsinya tidak dipengaruhi makanan dalam lambung. Dosis untuk dewasa atau anak dengan berat badan lebih dari 20 kg sebesar 750 – 1500 mg per hari, terbagi dalam tiga dosis. Anak dengan berat badan kurang dari 20 kg dapat diberikan 50 mg/kg berat badan per hari. sekitar 20% amoksisilin dalam darah terikat oleh protein plasma (Snyder, 1982).
Amoksisilin di distribusi luas di dalam tubuh dan pengikatannya oleh plasma hanya 20%, yang masuk kedalam empedu menglami sirkulasi enterohepatik, tetapi yang diekskresi bersama tinja jumlahnya cukup tinggi. Amoksisilin menembus sawar otak dan mencapai badan yang optimal. Pada bayi premature dan neonatus pemberian amoksisilin menghasilkan kadar didalam darah yang lebih tinggi dan bertahan lama dalam tubuh. Amoksisilin relative cepat dieliminasi dan diekskrasi terutama melalui ginjal. Sekitar 50-70% dosis dikeluarkan melalui air kencing dalam bentuk tetap (Kucers, Meek, 1987).
Efek samping dari amoksisilin dapat terjadi pada semua cara pemberian dan mengenai banyak organ, timbul dalam bentuk ringan sampai fatal. Frekuensi kejadian efek samping tergantung dari persediaan obat. Pada umumnya pemberian secara oral lebih jarang menimbulkan efek samping tersering daripada parenteral. Reaksi alergi merupakan bentuk efek samping tersering mulai dari urtikaria sampai reaksi anailaki. Pemberian amoksisilin dalam jangka waktu lama dan dosis yang tinggi akan menyebabkan nefropati (Gan, Istiantoro, 1995).

3.2  Sefadroksil
Sefadroksil merupakan antibiotika golongan sefalosporin generasi pertama. Sefalosporin dan penisilin termasuk golongan antibiotik betalaktam. Sefalosporin berasal dari fungus cephalosporium acremonium yang diisolasi pada tahun 1948 oleh Brotze. Fungus ini menghasilkan 3 macam antibiotik yaitu sefalosporin P, N dan C. dari ketiga antibiotik tersebut dikembangkan dari bebagai derifat sefalosporin semisintetik antara lain sefalosporin C. sefadroksil berasal dari sefalosporin C generasi pertama yang mempunyai struktur kimia asam 7-amino-sefalosporanat yang merupkan komplek cincin betalaktam dan dehidrotriasin (Gan, Istiantoro, 1995).
Sefalosporin dihasilkan oleh cephalosporium acremonium dan mempunyai struktur mirip dengan penisilin. Cincin β lactam merupakan struktur kimia yang berhubungan dengan aktivitas antibakteri. Saat ini terdapat beberapa preparat sefalosporin. Perbedaannya adalah pada stabilitasnya terhadap asam dan ketahanan terhadap inaktivasi oleh β lactamase baik dari organisme positif dan negatif. Spektrum antibakteri sefalosporin menyerupai spektrum penicillin yang luas. Sefadroksil secara invitro bekerja akif melawan bakteri kokus aerob gram positif diantaranya staphylococcus aureus, streptococcus pyogenes, streptococcus viridian dan streptococcus pneumonia, tetapi kurang aktif melawan bakteri gram negatif. Namun sefalosporin lebih resisten terhadap penicillinase (Gan, Istiantoro, 1995; Snyder, 1982).








Gambar 3.2. Struktur kimia sefadroksil (Gan, Istiantoro, 1995).

Mekanisme kerja sefadroksil mirip dengan amoksisilin dimana reseptornya merupakan protein yang identik dengan enzim peptidoglikan, yang berfungsi menghambat pembentukan dinding sel bakteri sehingga menyebabkan autolosis dinding sel bakteri. Sefadroksil resisten terhadap penisilinase yang dihasilkan kuman yang dapat menghancurkan cincin betalaktam, karena itu sefadroksil tahan terhadap kuman-kuamn pengahsil penisilinase, hal ini karena sefadroksil memiliki dua rantai sebagai antimikrobanya. Kuman-kuman yang mensekresi sefalosporinase seperti pseudomonas dan enterobater dapat menghancurkan cincin betalaktam dari sefadroksil (Gan, Istiantoro, 1995).
Sefalosporin oral merupakan antibiotika yang paling banyak diresepkan di Amerika. Secara umum antibiotika ini diindikasikan untuk infeksi saluran pernafasan atas dan bawah. Selain itu diindikasikan untuk infeksi telinga, tenggorok termasuk otitis media. Kontra indikasinya ialah pada pasien yang telah diketahui alergi terhadap sefalosporin (Snyder, 1982).
Sefalosporin generasi pertama diketahui mempunyai aktivitas yang lebih besar melawan organisme gram positif daripada terhadap bakteri gram negatif. Diantara organisme gram positi, sefadroksil efektif melawan kebanyakan bakteri pathogen gram positif termasuk staphylococcus penghasil penisillinase. Sefadroksil bersifat bakterisidal, dengan menghambat sitesis dinding sel bakteri yaitu mengahambat sintesis peptidoglycan yang merupakan mayor dinding sel bakteri (Gan, Intiantoro, 1995).
Dosis sefadroksil untuk orang dewasa ialah 1-2 gram per hari dalam dua dosis terbagi tiap 12 jam, dan diberikan minimal selama tujuh hari untuk mencapai dosis efektf sedangkan pada anak-anak pemberiannya 30 mg/kg BB/ hari secara oral. Sefadroksil diberikan melalui oral karena diabsorbsi baik melalui saluran cernadan tidak dipengaruhi oleh adanya makanan didlam lambung. Kadar darah 10 µg/ ml setelah dosis 0,5 g setiap 6 jam, ikatan protein didalam tubuh sebesar 20%. Sefadroksil melewati sawer darah sehingga mencapai kadar tertinggi di cairan pericardium. Indikasi sefadrosil digunakan uintuk infeksi saluran nafas atas, otitis media akut dan infeksi saluran nafas bawah. Kebanyakan sefadroksil di ekskresi dalam bentuk utuh melalui ginjal, probenecid dapat mengurangi ekskresi di ginjal (Gan, Istiantoro, 1995).
Efek samping yang sering terjadi adalah reaksi alergi yakni timbul urtikarea. Pada penderita yang alergi terhadap amoksisilin ringan jarang mengalami alergi sefadroksil. Reaksi anfilaksis bisa terjadi bila penggunaan dalam dosis yang tinggi. Sefadroksil merupakan zat yang nefrotoksik meskipun kurang dibandingkan dengan amoksisilin. Diare, mual, muntah merupakan efek penggunaan sefadroksil (Gan, Istiantoro, 1995).

4.      Ringkasan
      Pada OMSA perforata membran timpani mengalami perdorasi spontan atau akibat tindakan parasintesis yang disertai keluarnya caian mukopurulen. Bakteri tersering penyebab OMSA adalah streptococcus pyogenes dan haemophillus influenza. Pembelian antibiotik yang adekuat dapat mepercepat kesembuhan. Antibiotik golongan betalaktam efektif digunakan sebagai terapi OMSA perforata.

DAFTAR PUSTAKA
Austin, D.F. 1991. ‘Anatomv of the ear’. In Deseases of The Nose, Throat, Ear. Head and Neck, 14 . Ed. Ballenger, J.J Lea & Febiger, Philadelphia pp 922 – 33.
Becker, W., Nauman, H.H., Pfaltz, C.R. 1989. ‘Clinical aspects of diseases of the middle and internal Ear’ in Ear, Nose and Throatment Diseases A pocket Reference. Ed. Goerge, Thieme Verlag New York, pp. 82 – 136.
Bluestone, C.D. 1991. ‘Diseases and disorder of the eustachian tube-midle ear’. In Otolaryngology, vol 2. Otology and Neuro-Otology.3  ed. WB Sounders Co Philadelphia, pp. 1289 – 1312.
Bluestone ,C.D. 2001. ‘Anatomy and physiology of the Eustachian tube’, in Otolaryngology Head and Neck, 3 , ed. Paparella, M.M., Shumrick, D.A., WB Saunders Co., Philadelphia, pp. 163 – 183.
Bluestone ,C.D. 2001, ‘Anatomy and physiology of the Eustachian tube’, , in Otolaryngology Head and Neck, 3  Ed. Baley, BJ., Lippincott Company, Philadelphia, pp. 1059 – 69.
Canafac, D.M. Giebink, G.S. 1994, ‘Antimicrobial treatment of acute otitis media’ in Recent advances in otitis media treatment, ed. Giebink, G.S., Ann Otol Rhinol Laryngol, vol 103 (suppl 163), pp. 11 – 4.
Djokosasono, A, Jogjohartono, Suprihati. 1996, ‘Uji banding efektifitas klinik antara ceftibuten dengan amoksisilin pada pengobatan otitis media akut perforata’, dalam Kumpulan Naskah Ilmiah Pertemuan Tahunan Perhati, ed Lukmantya, Suheryanto, Soedarmi,dkk. Batu – Malang: hal 225 – 35.
Donaldson, D.J. 2004, ‘Middle ear, acute otitis media, medical treatment’, available at: http//www.emedicine.com/ent/topic212.htm. waktu akses: 9 – 8 – 2006.
Gan. V.H.S., Istiantoro, JH. 1995, ‘Penisilin, sefalosporin dan antibiotic belaktam lainnya’, dalam Farmakology dan Terapi 3, ed. Gan , S., Setiabudi, R., Syamsul U., Bustami, Z.S. Bagian Farmakology FKUI, Jakarta, hal. 563 – 87.
Garbutt, J. St Geme, J.W, A. games W., 2004,’Developing community-specific recommendations for first lina therapy of acute otitis media: is hight dose amoxilin necessary?’. Pediatrics. Vol 114.pp 342 – 7.
Harmadi , S., Soerwardi. Wisnubroto. 2005. ‘Otitis Media supuratif akut’ dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag / SMF Ilmu Penyakit Telinga HIdung dan Tenggorok, edisi III, Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo, Surabaya, hal 10 – 3.
Hiekkinen, T., Thint, M., Chonmaitre, T. 1999, ‘Prevelance of various respiratory viruses in the midlle ear during otitis media’. N Engl J Med. Vol. 340, pp 260 – 4.
Ingvarson, L., Lungdren, K., Strenstrom, C. 1990. ‘Occurrence of acute otitis media in children. Cohort studies in an urban population’. In : Workshop on epidemiology og otitis media, Ann Otol Rhinol Laryngol, vol 99 (suppl 149), pp. 17 – 8.
Kentjono , W.A., 2006,’MIkrobiologi dan imunologi otitis media’, dalam Otitis Media dan Permasalahannya, Serta Kemajuan Implantasi Koklea, ed. Mulyarjo, Soedjak, S., Kentjono, W.A. dkk., Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan V Ilmu Kesehatan Telinga Tenggorok – Kepala Leher, bagian / SMF Ilmu Kesehatan THT-KL FK Unair/RSU Dr. Soetomo, Surabaya, hal. 23 – 38.
Kucers, A., Meek, BN. 1987. ‘The use of antibiotic’ in A Comprehensive Review with Clinical Empahsis. 4 Ed, ed. Williams Heineman, Medical Books London, pp. 172 – 95.
Kavanagh, K. 2007. ‘Eardrum and middle ear photograph’ available at: http;///www.entorg.net/eardrum.htm. waktu akses : 11 - 5 – 2008.
Laporan tahunan Unit Rawat Jalan THT, 2003.Lab / SMF Ilmu Penyakit THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Laporan Kegiatan Pelayanan Unit Rawat Jalan THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2004 Lab / SMF Ilmu penyakit ATHAT RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Mulyarjo, Wisnubroto, Soedjak, S., Tejawinata, S., iskandar A. Wiyadi, M.S. 1994. ‘Pedoman Diagnosis dan Terapi Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo Surabaya’.

Atau Unduuh Filenya DiSINI
Editing By : Enong 

0 comments :

Posting Komentar

ALL OF SPACE LINK PAY TO CLIC Or Internet Marketing

JOIN WITH EASYHITS4U The Most Popular Traffic Exchange KLIK ME Please $6.00 Welcome Survey After Free Registration!