Blog ini menyediaakan berbagai macam Aneka Artikel tentang dunis kesehatan, semoga yang sedikit ini membawa banyak manfaat bagi kita semua.
 

PEMERIKSAAN TOMOGRAFI KOMPUTER PADA SINUSITIS KRONIS


PEMERIKSAAN TOMOGRAFI KOMPUTER
PADA SINUSITIS KRONIS

Oleh :
TUTUT SRIWILUDJENG T.
RSU Dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto

Pendahuluan
Sinusitis kronis merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai di masyarakat. Menurut survey yang dilakukan di Amerika Serikat, sinusitis ternyata merupakan penyakit kronis yang paling sering dilaporkan. Sebanyak 14,7% dari seluruh penduduk Amerika telah menderita panyakit sinusitis kronis (Slavin, 20002). Data lain dari sub bagian Rinologi THT FKUI / RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta, juga menujukkan angka kejadian sinusitis yang tinggi yaitu 248 pasien (50%) dari 496 pasien rawat jalan yang datang pada tahun 1996 (Soetjipto, 2000).
Akhir – akhir ini penatalaksanaan sinusitis kronis mengalami pergeseran dari teknik operasi standart Caldwell Luc, menjadi Bedah Sinus Endoskopik Fungsional atau disingkat BSEF (Kennedy dan Zinriech, 1991; Stamberger, 1998; Zinriech dan Gotwald, 2001). Menurut Messerklinger yang dikutip dari Stammberger (1998) hampit semua sinusitis kronis pada sinus paranasal yang besar (sinus maksilaris dan frontalis), terjadi sekunder akibat kelainan di Kompleks  Ostio Meatal (KOM). KOM adalah bagian dari sinus etmoid anterior, daerah ini sangat sempit dan rimut. Adanya sumbatan di KOM akan mengakibatkan gangguan drainase dan aliran udara sinus, sehingga timbul infeksi pada sinus paranasalis yang besar. Prinsip dasar BSEF yaitu memperbaiki mukosilia dengan melancarkan drainase dan aliran udara di dalam sinus paranasal,`dengan cara menghilangkan sumbatan dan mengangkat mukosa yang mengalami kelainan patologis di daerah KOM tanpa merusak jaringan sehat (Kennedev dan Zinriech, 1991; Stammberger, 1998; Zinriech dan Gotwald, 2001).
Untuk menegakkan diagnosis sinusitis kronis dan selanjutnya menetapkan penatalaksanaannya, diperlukan pemeriksaan penunjang radiologist Tomografi Komputer (TK). Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan dengan jelas struktur anatomi sinus paranasal khususnya KOM (Zinriech dan Gotwald, 2001). Selain itu TK dapat mengevaluasi perluasan penyakit, sehingga membantu operator dalam mengarahkan operasi sesuai dengan luasnya kelainan yang ditemukan (Muslim, 1999; Mangunkusumo, 2000; Zinriech dan Gotwald, 2001). Bolger et al (1991) melakukan pemeriiksaan TK pada 202 pasien, menemukan 86,7% kelainan pada KOM dan sinus maksila ipsilateral kanan, sedangkan yang kiri sebanyak 80,8%. Pemeriksaan ini di luar negeri telah rutin dikerjakan pada penderita sinusitis kronis (Stammberger, 1998; Yousen, 2001). Sedangkan di Indonesia termasuk di Surabaya, foto polos sinus paranasal sampai saat ini masih sering dipergunakan. Hal ini disebabkan karena biaya pemeriksaan TK masih dirasakan cukuo mahal dan operasi BSEF sendiri belum merupakan prosedur rutin yang diakukan disini.
Pada tulisan ini akan dibahas mengenai pemeriksaan TK pada sinusitis kronis. Akan dibahas disini mengenai peranan TK pada sinusitis kronis, teknik pemeriksaannya, radioanatomi dan variasi anatomi yang penting diketahui.

1.      Peranan pemeriksaan tomografi computer pada sinusitis kronis.
Kemampuan TK dalam memperlihatkan secara simnulatan arsitektur tulang – tulang maksilofasial, jaringan lunak dan udara, menjadikan pemeriksaan ini merupakan modalitas pilihan untuk mengevaluasi anatomi rgio kavum nasi dan sinus paranasal (Zinriech dan Gotwald, 2001). Perpaduannya dengn pemeriksaan penyakit sinusitis keonis (Stammberger, 1999). Pemeriksaan TK mampu memberikan gambaran struktur anatomi pada area yang tidak tampak melalui endoskopi. Pemeriksaan ini sangat baik dalam memperlihatkan sel – sel etmoid anterior, dua-pertiga atas kavum nasi dan resesus frontalis. Pada daerah ini TK dapat memperlihatkan lokasi factor penyebab sinusitis kronis, yaitu KOM (Zinriech dan Gotwald, 2001).
Dengan potongan koronal daapt diidentifkasi dan dievaluasi secara sistematis struktur – struktur seperti ostium sinus maksila, etmoid infundibulum, meatus medius, proses unsinatus, bula etmoid, resesus frontal, sinus frontal, sinus maksila, sinus etmoid dan sinus sphenoid. Perhatian khusus difokuskan pada etmoid infundibulum, meatus medius dan resesus frontal yang merupakan tempat drainase. Beberapa variasi anatomi yang dapat menjadi factor predisposisi penyempitan KOM dapat diidentifikasi (Bolger et al, 1991; Muslim, 1999; Zinriech dan Gotwald, 2001). Apabila ada keterbatasan dana atau fasilitas, TK potongan koronak sudah cukup memadai untuk memandu operasi BSEF. Tetapi bila kelainan terdapat di sinus sphenoid atau etmoid posterior perlu dibuat potongan aksial untuk melihat jalannya nervus optikus dan arteri yang mungkin dapat berjalan di dalam sinus posterior tersebut. Selain itu dengan mengevaluasi penebalan mukoperiosteum dapat dinilai derajat sinusitisnya. Juga dapat diukur jarak dan sudut yang pasti dari aperture piriformis sampai resesus frontal atau tepi anterior sinus sphenoid. Hal ini akan sangat membantu perencanaan operasi BSEF (Muslim, 1999; Zinriech dan Gotwald, 2001).

2.      Teknik Pemeriksaan
Sebaiknya pemeriksaan TJ dilakukan, penderita dipersiapkan dengan diberikan pengobatan antibiotika yang adekuat serta amtiinflamasi. Pengobatan ini diberikan untuk menghilangkan proses radang akut sehingga gambaran mengenai sinus akan lebih jelas. Dengan demikian adanya sumbatan di KOM yang merupakan factor penyebab sinusitis kronis dapat diidentifikasi (Yousem, 2001; Zinriech dan Gotwald, 2001).
Potongan yang diperlukan ialah potongan koronal dan potongan aksial dengan teknik jaringan lunak (soft tissue setting), tebal irisan 3 – 5 mm, disertai zoom (nagnifikasi). Potongan koronal memberikan banyak kemudahan ahli bedah dalam meniali aspek tiga dimensi KOM dan perubahan patologinya. Pada potongan koronal idealnya pasien dalam posisi tengkurap dengan kepala ekstensi maksimal. Sedangkan pada potongan aksial, posisi pasien supinasi (Muslim, 1999; Yousem, 2001; Zinriech dan Gotwald, 2001).
Pemberian kontras media tidak dianjurkan. Kontras media hanya diperlukan bila pada evaluasi potongan dicurigai ada masa di kavum sinonasal. Kontras media juga diberikan bila pada komplikasi intrakarnial dari infeksi sinonasal seperti abses intrakarnial (Muslim, 1999; Zinriech dan Gotwald, 2001).


 
3.      Radioanatomi sinus paranasal
Berdasarkan gambaran radiografik yang didapat, evaluasi diarahkan terutama pada daerah yang sempit yaitu pada sinus etmoid serta hubungannya dengan sinus lainnya. Dari anterior ke posterior, pertama – tama evaluasi diarahkan pada group sel – sel anterior disekitar resesus frontalis. Perhatikan hubungan antara sinus frontalis dan etmoid, demikian juga drainase sinus diarahkan pada resesus sfenoedmoidalis, sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid (Zinriech dan Gotwald, 2001). Berikut ini akan dijelaskan lebih terinci mengenai radionatomi normal sinus paranasal tersebut.

            Sinus etmoid
Sinus etmoid dapat dilihat pada potongan koronal maupun aksial. Pada potongan koronal kumpulan sel – sel udara labirin etmoid tampak hampir vertical dengan septa tipis seperti sarang tawon. Pada keadaan vertical ini sel – sel udara sempit di anterior dan melebar ke posterior. Batas dari struktur labirin adalah lamina papirasea sebalah lateral, lamina orbita os frontal sebelah superior, di medial dengan lamina perpendicular dan ke inferior dengan konka media (Scuderi et al, 1993; Stamberger dan Kennedy, 1995; Bolger, 2001).
Sel – sel sinus etmoid terdiri dari tiga kelompok sel –sel udara yaitu anterior, media dan posterior. Kelompok anterior dan media disebut sebagai sel udara etmoid anterior yang dipisahkan oleh lamina basalis dengan sel udara etmoid posterior. Lamina basalis ini memperlambat penyebaran infeksi ke etmoid posterior. Sel etmoid terbuka pada ostiumnya yang berhubungan langsung dengan kavum nasi. Ostium ini tidak akan tampak pada TK (Muslim, 1999).

            Prosesus Unsinatus
Prosesus unsinatus merupakan lempeng tulang tipis dan melengkung yang merupakan perluasan dari tipe posterior os lakrimal. Sebagai batas anterior hiatus semilunaris dan merupakan dinding medial infundibulun etmoid. Perlekatan prosesus unsinatus paling banyak ke lateral yaitu pada lamina papirasea, tetapi dapat juga ke sentral pada basis kranii dan dapat ke medial pada  konka media (gambar 1). Proses unsinatus tampak jelas pada potongan koronal (Stammberger dan Kennedy, 1995; Bolger, 2001; Zinriech dan Gotwald, 2001).










Gambar 1: Variasi perlekatan prosesus unsinatus, (A) ke lateral pada lamina papirasea (B) ke sentral pada basis kranii dan (C) ke medial pada konka media (dikutip dari Stemmberger dan Kennedy, 1995).
            Sel agger nasi
Sel agger nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari sel – sel etmoid. Terletak agak ke anterior dari perlekatan antero superior konka media dan anterior dari resesus frontal. Bila berpneumatisasi akanmenonjol pada dinding lateral kavum nasi. Karena letaknya sangat dekat dengan resesus frontal, sel ini merupakan patokan anatomi untuk operasi sinus frontal. Dengan membuka sel ini akan memberi jalan menuju resesus frontal. Terlihat pada potongan koronal yang paling anterior (Stammberger dan Kennedy, 1995; Bolger, 2001; Zinriech dan Gotwald, 2001). Sel agger nasi ini terdapat lebih dari 90% penderita (Yousem,2001).

            Bula etmoid
Bula etmoid merupakan sel etmoid terbesar, terletak di belakang prosesus unsinatus dan dipisahkan dengan prosesus unsinatus oleh hiatus semilunaris, ke lateral dengan lamina papirasea dank e superoposterior dengan sinus lateralis. Terlihat paling baik pada potongan koronal. (Stammberger dan Kennedy, 1995; Bolger, 2001; Zinriech dan Gotwald, 2001).

            Sinus lateralis
Sinus lateralis merupakan suatu celah rongga udara yang terletak di posterior dan superior dari bula etmoid. Bila celah ini berada di belakang bula etmoid sehingga memisahkannya dari lamella basalis disebut resesus retrobular. Selanjutnya bila resesus ini meluas ke superior dari bula etmoid disebut ressesus suprabular (Stammberger dan Kennedy, 1995).
Pada sekitar 25% penderita dinding posterior bula etmoid tidak ada sehingga berbatasan langsung dengan lamina basalis, dalam hal ini resesus retrobular tidak ditemukan (Ziriech dan Gotwald, 2001). Resesus suprabular dan retrobular ini penting diidentifikasi karena merupakan area potensial terjadinya sinusitis berulang sesudah etmoidektomi (Yousem, 2001).

            Ostium sinus maksila dan infundibulum etmoid
Ostium sinus maksila dan infundibulum etmoid merupakan hubungan utama sinus makpsila dengan kavum nasi. Keduanya dapat diperlihatkan dengan baik pada potongan koronal. Infundibulum di sebelah lateral berbatsan dengan dinding inferomedial orbita, sebelah superior berbatasan dengan hiatus semilunaris dan bula etmoid, di sebelah medial dengan prosesus unsinatus dan disebelah inferior dengan sinus maksila. Ostium berlanjut ke superomedial menjadi infundibulum (Stammberger dan Kennedy, 1995; Bolger, 2001; Zinriech dan Gotwald, 2001).

            Hiatus semilunaris
Hiatus semilunaris berbentuk suatu saluran atau celah memanjang yang letaknya melengkung pada dinding lateral hidung. Saluran ini merupakan lanjutan dari infundibulum etmoid dengan arah posteroinferior. Terletak di atas prosesus unsinatus dan di bawah bula etmoid. Dapat dilihat dengan baik pada potongan sagital. Celah ini memisahkan prosesus unsinatus dari bula etmoid dan sebagai penghubung infundibulum etmoid dengan meatus medius (Stammberger dan Kennedy, 1995; Bolger, 2001; Zinreich, 2001).

            Konka Media
Konka media terletak inferomedial dari sel anterior. Perlekatan tulangnya hampir veritkal denga lamina kibrifoemis di superior dan lamina papirasea di lateral. Anatomi konka media terlihat dengan baik pada potongan koronal dan juga tampak pada potongan aksial (Muslim, 1999 dan Bolger, 2001).

            Resesus frontal
Resesus frontal merupakan drainase dari sinus frontal. Berbatasan di sebelah anterior dengan agger nasi, di sebelah posterior dengan arteri etmoidalis anterior atau perlekatan bula etmoid dengan dasar otak. Di bagian lateral di batasi dengan lamina papirasea dan di medial oleh konka media. Hubungan sinus frontal dengan kavum nasi tidak merupakan saluran lurus tetapi berbentuk hourglass. Perlekatan atas dari prosesus unsinatus menentukan pola drainase sinus frontal. Jika perlekatan atas prosesus unsinatus pada lamina papirasea, sehingga infundibulum bagian atas buntu sebagai resesus terminalis, maka drainase sinus frontal dapat langsung menuju meatus medius. Jika perlekatan atas prosesus unsinatus di atap etmoid atau konka media. Maka drainase akan melalui infundibulum dahulu. Pada potongan koronal dapat terlihat dengan jelas (Stammberger dan Kennedy, 1995; Bolger, 2001; Zinreich dan Gotewald 2001).

Sinus sphenoid
Ukuran sinus sphenoid bervariasi tergantung pneumatisasinya.  Congdon seperti yang dikutip dari Donald (1995) membagi sinus sphenoid menjadi 3 tipe berdasarkan derajat pneumatisasinya yaitu tipe konkal (5%), preseler (23,5%) dan selar (67%). Disebut tipe konkal bila sinus sphenoid sangat kecil, terletak di depan sela tursika. Tipe preselar bila pneumatisasinya belum mencapai sela tursika. Dan tipe selar bila pneumatisasinya sepanjang bawah sela tursika atau bahkan melewatinya (post-selar).
Dinding anterior sinus sphenoid berjalan miring dari anteromedial kea rah posterolateral. Atapnya merupakan lanjutan dari dasar otak bagian anterior. Dinding lateral mempunyai dua struktur penting. Penonjolan di bagian antero – superior dinding lateral di bentuk oleh nervus optikus. Penonjolan di bagian posterior-inferior dibentuk oleh arteri karotis. Pada specimen yang mempunyai pneumatisasi sempurna, dapat terjadi dehisensi (Zinreich dan Gotwald, 2001).

Resesus sfenooetmoid
Terlihat dan dapat dievaluasi dengan baik pada potongan sagital atau aksial. Ostium terletak anterosuperior dari sinus sphenoid. Drainase sinus sphenoid dan sel – sel etmoid posterior ke resesus sfenoetmoid kemudian ke meatus superior (Stammberger dan Kennedy, 1995; Zinreich, 2001).









Gambar 2: (A) Sinus paranasal KOM yang normal, bandingkan dengan (B) kelainan pada KOM yang mengakibatkan sinusitis kronis (dikutip dari Yousem, 2001).

4.      Variasi anatomi yang penting diketahui
            Deviasi septum dan pneumatisasis septum nasi.
Septum nasi yang berat dapat menimbulkan kelainan dinding lateral kavum nasi dan dapat mengakibatkan kelainan pada sinus paranasal. Hal ini terutama bila deviasi septum mengenai dinding lateral konka media, sehingga mempersempit meatus medius (Zinreich dan Gotwaldm 2001). Selain itu pneumatisasi septum nasi juga dapat mempersempit meatus medius (Muslim, 1999).
            Konka bulosa
Pneumatisasi konka media disebut konka bulosa, dapat terjadi unilateral maupun bilateral. Konka bulosa dapat mengakbatkan penekanan pada prosesus unsinatus sehingga dapat menimbulakan obtruksi pada meatus medius dan infundibulum. (Stammberger dan Kennedy, 1995; Zinreich dan Gotwald, 2001). Penelitian yang dilakuka Stammberger dan Wolf seperti yang dikutip dari Zinreich dan Gotwald (2001), menemukan keluhan sinusitis. Bila ditemukan dengan variasi anatomi lain seperti prosesus unsisatus bengkok ke medial atau bula etrmoid yang besar, konka bulosa yang kecil saja sudah dapat menyenbabkan penyempitan yang bermakna pada meatus medius (Muslim, 1999).

            Konka media paradoksal
Konka media paradoksal terjadi bila kedua konka konkaf terhadap septum nasi dan konveks terhadap dinding lateral hidung Stammberger dan Kennedy, 1995; Yousem, 2001; Zinreich dan Gotwald, 2001). Variasi ini dapat menyebabkan penyempitan saluran ke meatus medius. Konka media paradoksal ini terkadang sulit diamati melalui TK. Karena kelainan ini akan tampak sesuai pada level potongan koronal dibuat. Seringkali ditemikan konka paradoksal pada bagian anterior namun normal pada bagian posterior (Zinreich dan Gotwald, 2001).

            Deviasi dan pneumatisasi proesesus unsinatus (bula unsinatus)
Bila prosesus unsinatus mengalami deviasi kea rah lateral maka akan menekan infundibulum. Sedankang bila ke medial akan menekan meatus medius. Prosesus unsinatus ini juga dapat mengalami pneumatisasi sehingga depan menyempit infundibulum (Zinreich dan Gotwald, 2001).



            Sel Haller
Sel Haller merupakan sel – sel etmoid anterior yang mengalami pneumatisasi pada sebelah medial atap sinus maksila, dibawah dari lamina papirasea dan lateral dari prosesus unsinatus. Apabila sel Haller ini besar mengakibatkan penyempitan infundibulum etmoid dan menekan ostium dari atas. Kondisi ini dapat menyebabkan drainase sinus maksila tidak lancer, sehingga dapat menimbulkan sinusitis maksilaris (Zinreich dan Gotwald, 2001). Yousem (2001) menyebutkan sel Haller ini dapat ditemukan pada pemeriksaan TK anatara 10 – 45%.










Gambar 3: Variasi anatomi (A) konka bulosa dan (B) sel Haller (dikutip dari Zinreich dan Gotwald, 2001).

             Bulla etmoid yang besar
Bula etmoid sangat besar dapat menekan infundibulum etmoid, sehingga mengganggu drainase dari ostium sinus maksila ke meatus medius (Zinreich dan Gotwald, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Lloyd, seperti yang dikutip dari Zinreich dan Gotwald (2001) menemukan variasi inisebanyak 17% namun bila dibandingkan dengan variasi anatomi lainnya memiliki kolerasi yang lebih rendah dalam hubungannya sebagai penyebab sinusitis


            Sel Onodi
Sel etmoid posterior yang paling belakang berbentuk prisma segitiga dengan puncak di posterlateral sedangkan dasarnya menghadap ke teleskop. Jika sel ini berpneumatisasi ke posterolatral atau posterosuperior terhadap dinding depan sphenoid, disebut sel sfeno-etmoid atau dikenal sebagai sel Onodi. Sel Onodi ini selingkari nervus optikus (Stammberger dan Kennedy, 1995; Zinreich dan Gotwald, 2001). Sebanyak 24% pasien ditemukan memiliki sel Onodi (Yousem, 2001). Pada potongan aksial dapat diihat apakah ada sel Onodi. Sel Onodi ini sangat penting bagi operator agar berhati – hati dalam pembersihan daerah etmoid posterior (Muslim, 1999).

            Variasi bentuk septum sinus sphenoid dan hubungannya dengan nervus optikus dan arteri karotis.
Sinus sphenoid dan septumnya dapat terlihat jelas pada potongan koronal kea rah posterior. Variasi bentuk septum sinus sphenoid perlu menjadi potongan koronal ke arah septum yang menyilang ke lateral, lokasi septum berada tepat di bawah arteri karotis (Muslim, 1999). Sebanyak 8 – 14% dari kasus otopis, antara arteri karotis dan sinus sphenoid ditemukan tidak dibatasi oleh tulang. Sebanyak 4% pasien ditemukan nervus optikusnya tidak tertutup dengan tulang dan antara 78 – 88% tertutup oleh tulang tipis dengan kete balan kurang dari 0,5 mm (Zinreich dan Gotwald, 2001).








Gambar 4: Sel Onodi dan nervus optikus dalam gambar skematik potongan aksial (dikutip dari Stammberger dan Kennedy, 1995).











Gambar 5: Sel Onodi tampak pada potongan aksial, di dalamnya terdapat nervus optikus kanal tulangnya tipis atau dehisensi (dikutip dari Yousem,2001).

            Lamina papirasea
Lamina papirasea merupakan lempeng tipis yang membatasi sel – sel udara etmoid dengan orbita di sebelah lateralnya. Karena hematoma orbita sering terjadi sebagai komplikasi BSEF, maka bila ada dehisensi pada daerah ini sebaiknya diketahui sebelumnya. Dari hasil otopsi defek ini didapatkan  sekitar 5 – 10% (Yousem, 2001)









Gambar 6: (A) Dehisensi kanal arteri karotis di dalam sinus sphenoid kanan dan (B) dehisensi pada lamina papirasea kanan (dikutip dari Yousem, 2001).
Atap etmoid dan lamina kribiformis
Sinus etmoid dipisahkan dari fosa kranii anterior oleh atap etmoid. Dua pertiga atap etmoid dibentuk oleh tulang frontal dan foveea etmoidalis yang tebal dan padat. Di medial bersatu dengan lamina kribosa membentuk suatu pertautan yang sangat lemah karena sangat tipis disebut lamina lateralis dari lamina kribosa (Mangunkusumo, 1999; Bolger, 2001). Tempat pertautan ini dapat menurun. Tergantung dari jarak penurunannya dapat dibagi menjadi 3 tipe menurut Kerose, yaitu:
a.       Tipe Keros 1:
Fosa olfaktorius datar, kedalamannya hanya sekitar 1 – 3mm. Lamina lateeralis dari lamina kribosa rendah bahkan hampir tidak ada.

b.      Tipe Keros 2:
Fosa olfaktorius lebih dalam mencapai 4 – 7mm. Lamina lateralis dari lamina kribosa lebih panjang.
 
c.       Tipe Keros 3:
Atap etmoid lebih tinggi dari lamina kribosa. Lamina lateralis dari lamina kribosa panjang dan tipis. Kedalaman olfaktorius dapat mencapai 8 – 16mm. Tipe ini paling berbahaya untuk tindakan operasi karena kemungkinan perforasi melalui lamina lateralis dari lamina kribosa (Stammberger dan Kennedy, 1995; Bolger, 2001).







Gambar 7: Konfigurasi atap etmoid (A) tipe 1, (B) tipe 2, (C) tipe 3 (dikutip dari Stammberger dan Kennedy, 1995).
RINGKASAN
Sejalan dengan pergeseran penatalaksanaan sinusitis kronis dari teknik operasi standart Caldwell Luc menjadi Bedah Sinus endoskopik Fungsional, maka pemeriksaan tomografi computer menjadi diperlukan. Tomografi computer dapat memperlihatkan dengan jelas struktur anatomi sinus paranasal khususnya kompleks osteometal. Kombinasi potongan aksial dan koronal memberikan banyak kemudahan ahli bedah dalam menilai aspek tiga dimensi struktur – struktur penting dan variasi anatomi yang ada. Hal ini akan membantu dalam menentukan penatalaksanaan sinusitis kronis dan menuntun jaannya operasi bila dailakukan.

DAFTAR PUSTAKA
Bolger WE, 2001. Anatomi of the paranasal sinuses. In : Kennedy DW. Bolger WE, Zinreich SJ, eds. Diseases of the Sinuses. Hamilton : BC Decker Inc, 1 – 10.
Bolger WE, Butzin CA, Persons DS, 1991, Parnasal sinus bony anatomic variations and mucosal abnornamalities: CT analysis for endoscopic sinus surgery. Laryngoscope 101: 56 – 64.
Donald PJ, 1995. Anatomy and histopatology. In: Donald PJ, Gluckman JL, Rice DH, eds. The sinuses Reven Press, New York: 25 – 48.
Kennedy DW dan Zinreich SJ, 1991. Endoscoic sinus surgery. In: Paparella MM, Shumrick D, eds. Otolaryngology 3 ed. Vol III. Phiadelphia : WB Saunders Co: 1861 – 71.
Mangunkusumo E, 2000. Persiapan Operasi BSEF: nasoendoskopi dan pemeriksaan tomografi computer. Kumpulan Makalah Kursus dan Pelatihan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional. Bagian THT FK-UI / RSUP Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta.
Muslim R, 1999. Peran tomografi computer dalam deteksi kelainan dan sebagai persiapan  pra operasi bedah sinus endoskopi fungsional pada penderita sinusitis kronik. Kumpulan Makalah Simposium Sinusitis. Bagian THT FK-UI / RSUP Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta.
Scuderi AJ, Harnsberger HR, Boyer RS, 1993. pneumatization of the Paranasal Sinuses: normal features of importance to the accurate interpretation of CT scans and MRI. AJR 160, 1101 – 4.
Slavin RG, 2002. Rhinosinusitis: epidemiology and phatology. In: Slavin RG. Bachret C, Mosges R, et al, eds. Enhancing The Treatment of Rhinosinusitis A Supplement to Family Practice Recertfication. Vol 24, N: 1, 1 – 7.
Soetjipto D, 2000. penatalaksanaan baku sinusitis. Symposium Bedah Sinus Endoskopik Fungsional. Bagian THT.
Stammberger HR dan Kennedy DW, 1995. Paranasal Sinuses. Anatomic Terminology and nomenclature. In: Kennedy DW, ed International Conference on Sinus Diseases: Terminology, Stagging and Therapy. Annals Publishing Co, 7 – 15.
Stammberger HR, 1998. FESS – Endoskopic diagnosis ad surgery of the paranasal sinuses and anterior skull base. The Messerkiller technique and advanced application from the Graz School. Germany: Braun – Druck Gambh, 3 – 11.
Yousem DM, 2001. imaging in Sinus Diseases. In: Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ, eds. Diseases of the Sinuses. Hamilton: BC Decker Inc, 129 – 36.
Zinreich SJ dan Gotwald T, 2001. radiographic Anatomy of the Sinuses. In: Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ, eds. Diseases of the Sinuses. Hamilton: BC Decker Inc, 13 – 26.

Atau Silahkan unduh saja Filenya langsung DiSINI

0 comments :

Posting Komentar

ALL OF SPACE LINK PAY TO CLIC Or Internet Marketing

JOIN WITH EASYHITS4U The Most Popular Traffic Exchange KLIK ME Please $6.00 Welcome Survey After Free Registration!