Blog ini menyediaakan berbagai macam Aneka Artikel tentang dunis kesehatan, semoga yang sedikit ini membawa banyak manfaat bagi kita semua.
 

EVALUASI SUARA PARAU

EVALUASI SUARA PARAU

Oleh :
TUTUT SRIWILUDJENG T.
RSUD Dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto


PENDAHULUAN

Suara parau adalah istilah yang sering dipakai oleh penderita untuk menggambarkan perubahan kualitas suaranya. Penyebab suara parau bermacam – macam, mulai dari yang paling ringan yaitu infeksi saluran napas atas sampai dengan yang paling berat yaitu adanya keganasan pita suara.
Evaluasi subyektif, pemeriksaan fisik rutin dan pemeriksaan laring penderita sangatlah berharga dalam menilai kualitas suara. Pada masa kini, sesuai dengan kamajuan teknologi, pemeriksaan yang lebih obyektif akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis, karena dengan diagnosis yang tepat maka terapi akan dapat diberikan dengan lebih tepat pula.
Pada makalah ini akan diuraikan langkah – langkah yang diperlukan dalam melakukan evaluasi pada penderita dengan suara parau.

EVALUASI SUARA PARAU
  1. Anamnesis
Evaluasi surau parau hendaknya didasarkan pada langkah – langkah yang komprehensif dan berurutan yaitu anamnesis, pemeriksaan secara komprehensif yang meliputi pemeriksaan kepala leher dan laring, serata tes diagnosttik khusus.
Anamnesis hendaknya dimulai dengan keluhan utama penderita, deskripsi tentang bagaimana terjadinya, kapan terjadinya pertama kali, berapa lama (untuk mengetahui akut atau kronis) dan berapa sering  terjadinya. Di samping itu perlu juga ditanyakan apakah ada saat suara kembali normal, apakah suara berfluktuasi dalam sepanjang hari.?
Anamnesis  tentang adanya factor pemicu dan anamnesis penyakit terdahulu diperlukan, seperti apakah parau didahului oleh infeksi aluran napas atas atau parau setelah berteriak – teriak (misalnya pada saat olah raga)? Apakah ada anamnesis intubasi, trauma leher sebelumnya? Apakah penderita pernah operasi tiroid, esofagus atau kardiotoraks? Apakah penderita mempunyai penyakit refluks atau hipotiroid?
Anamnesis tentang gejala yang berhubungan misalnya disfagi, sakit waktu bicara (odinofonia), stridor, batuk kronis, himoptisis, penyakit jalan napas yang obstruktif / restriktif, rasa terbakar di dada (heartburn), gejala alergi, gejala sinusitis (postnasal drip).
Anamnesis sosial yang perlu ditanyakan adalah apakah penderita perokok peminum alkohol? Apakah penderita pengguna suara yang professional seperti guru, penyanyi, penjual sehingga kadang – kadang menggunakan suara secara berlebihan (vocal abuse) karena pekerjaannya?
Anamnesis tentang lingkungan hidup penderita yang meliputi tingkat kebisingan iritasi asap, serbuk (pollen), debu atau toksin, atau ada anamnesis kurangnya pendengaran mukosa saluran napas atas obat obatan jantug yang menyebabkan batuk atau hormone.
Setelah anamnesis tersebut diatas, hendaknya dilakukan evaluasi suara penderita dengan menggunakan VoiceHandicap self assessement. Pertanyaan – pertanyaan ini di bagi atas tiga bagian yaitu dari aspek fungsional, fisik dan emosional. Aspek fungsional meliputi pernyataan yang menggambarkan akibat dari kelainan suara terhadap aktifitas hariannya. Aspek fisk menggambarkan persepsi penderita tentang keluhan laringnya dan karakteristik suara yang dihasilkan, sedangkan aspek emosional menggambarkan respons afektif penderita terhadap kelainan suaranya.

  1. Pemeriksaan Fisik secara Komprehensif
Pemeriksaan fisik yang komprehensif merupakan langkah yang penting untuk dapat menegakkan diagnosis. Pemeriksaan yang komprehensif terdiri dari pemeriksaan kepala – leher dan pemeriksaanlaring.
            Pemeriksaan kepala – leher
Pemeriksaan daerah kepala – leher sangat penting dalam memeriksa penderita dengan suara parau. Suara parau dapat disebabkan oleh adanya kompresi / gangguan syaraf disuatu tempat dalam kepala dan leher, kelainan tiroid atau dari sebab lain. Karsinoma laring dapat juga merupakan kalainan sauar yang mengancam jiwa yang harus dipastikan dalam pemeriksaan. Pemeriksaan ini meliputi :
            Inspeksi
Pada inspeksi dilihat warna dan keutuhan kulit serta   benjolan yang ada pada daerah leher di sekitar laring, antara lain : pembesaran laring (karena adanya infilrasi tumor pada kartilago laring), tumor colli, pergerakan Adam’s apple waktu menelan, pembesaran kelenjar tiroid, retraksi suprasternal pada waktu inspirasi dll.
            Palpasi
Palpasi dlakukan pada kerangka laring dan struktur di sekitarnya selama respirasi dan menelan dengan memperhatikan kartilago tiroid, kartilago krikoid, kelenjar tiroid serta gerak simultans laring dan kelenjar tiroid waktu menelan. Diperiksa juga adanya nyeri tekan dan pembesaran kelenjar limfe. Laring yang normal mudah digerakkan ke kanan dan kekiri.

            Pemeriksaan laring
Pemeriksaan laring terdiri dari pemeriksaan dengan cermin, laringoskopi kaku, laringoskopi teleskopik, laringoskopi fleksible, videostroboskopi dan mikrolaringoskopi.
            Pemeriksaan dengan cermin
Pemeriksaan laring yang tak langsung dengan menggunakan cermin adalah prosedur pertama untuk melihat laring. Pemeriksaan ini cepat, tidak mahal dan hanya membutuhkan cermin serta sumber cahaya eksternal. Kelainan yang jelas (gross) mungkin dapat mungkin dapat segera dideteksi tetapi kelainan yang kecil akan sulit dilihat.
Kekurangan dari pemeriksaan ini adalah laring tak dapat dilihat pada posisi fonasi yang fisiologis sebab lidah penderita dikeluarkan (extended) dan laring dalam keadaan elevasi. Selain itu dapat terjadi refleks muntah yang hiperaktif pada 5 – 10% penderita, kesulitan melakukan biopsy dan tak dapat dibuat foto dokumentasi.








Gambar 1 :  Alat pemeriksaan laring dengan cermin

            Laringoskopi kaku
Pemeriksaan ini menggunakan skope yang khusus yaitu laringoskop. Penderita harus dipuasakan minimal 6 jam sebelumnya untuk menghindari aspirasi bila muntah. Diperlukan pula pemberian premedikasi 1 jam sebelum pemeriksaan dengan sedatif dan sulfas atropin untuk mengurangi sekresi dan mencegah vagal refleks. Anestesi local diberikan dengan menggunaka semprot lidocain. Untuk memperbesar laring yang dilihat dan mempermudah melihat komisura anterior dapat digunakan teleskop 30 dengan tanpa mengait epiglottis. Pengambilan foto dokumentasi seringkali sulit dilakukan karena penderita jarang yang dapat koperatif untuk jangka waktu yang diperlukan. Kontra indikasi pemeriksaan ini adalah adanya kelainan vertebra servikalis dan trismus sebab diperlukan posisi kepala yang hiperekstensi dan mulut yang cukup dapat dibuka untuk masuknya alat sampai di laringofaring. Disamping itu, derajat sesaknya penderita juga memengaruhi sulitnya pemeriksaan. Pemeriksaan ini terutama silakukan untuk mendapatkan hasil yang cukup besar sehingga cukup representative.









                                    Gambar 2 : Laringoskop kaku

            Laringoskopi teleskopik
Pada pemeriksaan dengan teleskop kaku akan dihasilkan gambar laring yang paling jelas dan besar.
Anestesi local diberikan pada faring denfan semprot lidocain. Teleskop 70 atau 90 dimasukkan melalui mulut penderita di atas lidah pada garis tengah sampai melalui pangkal lidah dan di atas permukaan atas epiglottis tetapi masih pada orofaring sampai laring tampak, dengan lidah penderita dipegang oleh pemeriksa, karena itu evaluasi fungsi laring waktu berbicara atau menyanyi tak dapat dilakukan. Penderita diminta mengucapkan huruf /i/ pada tiga pitch yang berbeda (tinggi, normal, rendah) dan pada keras suara (loudness) yang normal. Gambar yang didapatkan dapat direkam pada video. Kontra indikasi hampir tak ada selama alat masih bisa dimasukkan ke mulut penderita. Kerugiannya, tak dapat dilakukan biopsy dan ada faktor anatomisseta refleks muntah yang dapat merupakan keterbatasan.








                  Gambar 3 : Laringoskopi teleskopik
Menurut penelitian Shao dkk (2002), bila dibandingkan dengan teleskop 90, teleskop 70 dapat lebih mendekati pita suara sehingga menghasilkan visualisasi yang lebih baik pada permukaan laryngeal epiglottis, komisura anterior dan daerah subglotis.

            Laringoskopi fleksibel
Pada pemeriksaan ini laringoskop fleksibel dimasukkan melalui hidung ke laringofaring sampai laring tampak. Penderita tidak perlu puasa dan tak perlu premedikasi. Anestesi lokal diberikan pada kavum nasi (lidocain–efedrin 2%) dan faring (semprot lidocain). Pemeriksaan ini dapat secara mudah dikerjakan walaupun pada penderita dengan refleks muntah yang berlebihan dan anak – anak. Alat ini merupakan satu - satunya alat yang dapat memeriksa nasofaring, faring dan laring pada posisi yang hampir fisiologis, yaitu keadaan laring waktu berbicara, menyanyi, batuk dll. Walaupun gambar laring yang dihasilkan tidak sejelas yang dihasilkan oleh laringoskop kaku. Gambar dapat direkam pada video. Biopsi dapat dilakukan tapi dengan hasil bahan biopsi yang lebih kecil dari pada dengan laringoskopi kaku.










                  Gambar 3: Laringoskop fleksibel



            Videostroboskopi
Videostroboskopi mengkombinasi laringoskopi fleksibel atau kaku dengan strobe light (synchronized light pulse) untuk mendapatkan gambar gerakan lambat dari vibrasi pita suara akan memberikan informasi penting tentang efek kelainan pita suara pada produksi suara dapat direkam. Dokumentasi vibrasi pita suara merupakan hal yang penting dalam investigasi kelainan suara juga dalam evaluasi efekstivitas terapi.
Penderita tak perlu puasa dan tak perlu premedikasi. Anestesi lokal diberikan pada kavum nasi (lidocain-efedrin 2%) dan faring (semprot lidocain) bila pemeriksaan dengan endeskop fleksibel dan hanya pada faring saja bila pemeriksaan menggunakan endeskop kaku.
Endeskop fleksibel, lebih mudah dimasukkan lebih enak untuk penderita dan ideal untuk melakukan observasi laring dalam keadaan berbicara, menyanyi dll, serta dapat untuk melihat glottis malalui aperture supragolik yang sempit. Kekurangannya adalah cahaya yang melalui bendel fiberoptik ke ujung endeskop mempunyai intensitas rendah, sehingga gambar yang dihasilkan tidak sejelas yang kaku.
Endoskop kaku menghasilkan gambaran yang besar dan jelas, tetapi membutuhkan koopertif penderita sebab lidah penderita harus dijulurkan dan dipegang oleh pemeriksa selama pemeriksaan. Hal ini akan dapat menyebabkan distorsi postur fonasi yang alami dari faring dan laring. Disamping itu penderita harus mempunyai anatomi yang suitable dan toleransi fisik agar pemeriksaan dapat melihat seluruh glottis.
Perbedaan antara pemeriksaan stroboskopik yang menggunakan fleskibel dan telaskop laringoskopi, menurut penelitian Yanagisawa (1993) adalah sebagai berikut :
a)      Kemudahan teknis
Kegagalan pemeriksaan pada pemeriksaan teleskop yang disebabkan karena adanya refleks muntah yang hiperaktif, sedangkan pada fleksibel semua penderita dapat diperiksa.

b)      Kualitas gambar
Kualitas gambar yang dihasilkan oleh teleskop lebih baik dari pada dengan fleksibel yaitu lebih besar, lebih jelas, warna dan resolusi gambar lebih bagus.
c)      Distorsi
Distorsi akibat adanya faktor optikal lebih banyak didapatkan pada pemeriksaan dengan fleksibel, sebaga efek dari adanya sudut lebar (wide-angel) dari lensa fiberskop. Bila ujung fleksibel dimasukkan terlalu dekat dengan glottis, gambar laring tampak lebih besar di tengah dan lebih kecil di perifer, sehingga menyebabkan distorsi dari gambar stroboskopi laring dan gelombang mukosa. Selain itu, bila ujung fleksibel dimasukkan melalui kavum nasi yang sempit akibat adanya septum deviasi atau konka yang hipertrofi akan menyebabkan bertendensi untuk tetap pada posisi yang relative lateral di hipofaring. Hal ini akan menyebabkan gambar stroboskopi korda vokalis dan struktur supraglotis yang tidak simetri.
System teleskop memberikan distorsi yang minimal selama teleskop ada di garis mesdian atau digeser pada aksis horizontal, akan terjadi distorsi sehingga besar korda vokalis tidak sama. Pilka glosoepiglotis dapat dipakai sebagai petunjuk untuk posisi di garis median selama pemeriksaan dengan teleskop.










Gambar 5 : Videostroboskopi
            Mikrolaringoskopi
Pada keadaan – keadaan tertentu pemeriksaan laring diperlukan dengan menggunakan mikroskop. Cara pemeriksaan ini, selain untuk menegakkan diagnosis (dengan melihat atau biopsi) sekaligus dapat untuk melakukan terapi berupa ekstirpasi misalnya pada vocal nodul, kiste atau polip. Hasil serta tempat biopsi juga dapat lebih banyak dan lebih akurat.  Tetapi kerugiannya pemeriksaan ini memerlukan anestesi umum sehingga diperlukan persiapan dan biaya yang lebih besar dari pada pemeriksaan laring yang lain. Demikian pula foto dokumentasi tak dapat diambil pada posisi respirasi dan fonasi. Kontra indikasi mikrolangoskopi hampir sama dengan kontra indikasi pada pemeriksaan dengan laringoskopi kaku yaitu adanya kalainan vertebra servikalis dan trismus. Tetapi karena dengan cara ini diperlukan anestesis umum maka adanya penyakit – penyakit lain yang dapat memberatkan kondisi penderita seperti gagal jatung, ginjal, hati dll, harus dipertimbangkan serta dipilihkan cara pemeriksaan lain yang paling baik untuk penderita.








                  Gambar 6 : Mikrolaringoskopik

  1. Tes diagnostic khusus
Tes diagnostic khusus diperlukan pada keadaan – keadaan tertenut yang lebih terarah terutama pada penyebab yang multifaktorial. Tes tes tersebut antara lain :
            Laringeal Elektromiografi (LEMG)
LEMG adalah tes yang khusus mengukur aktivitas elektrik yang dihasilkan oleh muskulus laring. Pemeriksaan ini memberikan informasi spesifik tentang status input  syaraf pada otot laring. Selama dilakukan LEMG aktivitas elektrik direkam, diperbesar dan ditmapilkan pada layar dan atau dihubungkan dengan pengeras suara sehingga dapat dianalisis secara visual dan bunyi. Pemeriksaan ini mengunakan jarum kecil (LEMG recording needles / electrodes) seperti jarum akupuntur yang dtusukkan pada otot laring yaitu muskuli krikotiroid kanan dan kiri serta muskuli tiroartenoid kanan dan kiri. Kemudian penderita diminta bersuara /i/. Hasil yang didapat akan memberi informasi apakah fungsi syaraf ke otot laring intack (normal), intack sebagian (paresis) atau absent (paralisis). Hasil ini dapat juga merupakan indikasi bahwa diperlukan beberapa tes medis lain sebelum diagnosis ditegakkan  dan terapi direncanakan.

            Voice Lab Functional Testing
Dilakukan analisis parameter bunyi dalam saluran. Parameter suara dan bicara yang berbeda akan dievaluasi melalui analisis akustik yang dikerjakan oleh ahlipatologi suara (speech-language pathologis) atau professional lain yang terlatih. Dengan kemajuan teknologi, analisis akustik dapat dilakukan dengan menggunakan computer untuk mendapatkan pengukuran kuantitatif dari kelainan suara. Tes ini dapat menemukan kelainan yang kecil yang terlewat pada telinga tanpa bantuan.
            Tes Refluks
Tes untuk memastikan adanya refluks cairan lambung ke laringofaring adalah dengan menggunakan double-proble pH monitoring sehingga akan dapat diketahui jumlah asam sepanjang hari pada hipofaring dan dalam esophagus. Disamping itu dapat diketahui pula berapa kali dalam sehari tingkat asam yang abnormal terjadi.
            Radiologis
Pembuatan foto yang dapat membantu menegakkan diagnosis antara lain adalah X-foto soft tissue leher lateral laringografi, CT scan dan MRI. Hasil foto tersebut dapat digunakan untuk deteksi adanya tumor, kalsifikasi yang abnormal dan atau adanya masalah jalan napas.

  1. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada setiap menipulasi di jalan napas terutama laring seperti misalnya melakukan biopsy atau ekstirpasi. Tetapi angka komplikasi yang dilaporkan di kepustakaan kecil hanya berkisar sekitar 1 – 3%. Komplikasi terutama dapat terjadi pada pemeriksaan laring dengan menggunakan laringoskop kaku dan mikrolangoskopi karena menggunakan alat dari tabung metal yang dimasukkan ke dalam hipofaring, sedangkan pada pemeriksaandengan teleskop, alat dimasukkan hanya sampai orofaring dan dengan fleksibel, alatnya berdiameter kecil serta tidak kaku. Komplikasi yang dapat terjadi adalah timbulnya lesi mukosa cavum oris, orofaring dan bibir; kerusakan gigi terutama gigi rahang atas kanan dan stridor / laringospasme.

KEPUSTAKAAN
  1. Rosen CA, Anderson D, Murry T. Evaluating hoarsenes: keeping your patient’s voice helaty. American Family Phisician. June 1998. Available at: http://www.aafp.org/afp/980600ap/rosen.html. Accessed 2/8/2005.
  2. Buckmire RA Stroboscopy. 2003. Available at; http://www.emedicine.com/ent/topic606 .htm. Accessed 2/8/2005.
  3. Goldstein DP. Hoarsenes. 2004. Available at; http://icarus.med.utoronto.ca/carr/manual/hoarse.html. Accessed 2/8/2005.
  4. Jones  NG Assessement of voice. Baylor college of medicine. The Bobby R. Alford Department of Otolaryngology and Communicative Sciences, 2000.
  5. LeBoeuf HJ. Evalution of the hoarse patient. Grand Rounds Presentations, UTMB, Dept. of Otolaryngology, 2000. Available at; http://www.utmb.edu/otoref/Grnds/hoarse-eval-0005.html. Accessed 2/8/2005
  6. Katzenmeyer K. Laryngeal dysfunction, hoarsenes, and videostrosboscopy. Grand Rounds Presentation, UTMB, Dept. of Otolaryngology, 2001. Available at; http://www.utmb.edu/otoref/Grnds/hoarse-2001-10/hoarse-2001-10.html. Accessed 2/8/2005.
  7. Rosen CA, Lee AS, Osborne J, Zullo T, Murry T. Development and validation of the voice handicap index-10. Laryngoscope 2004; 114: Setember 204, 1549-56.
  8. Bastian RW. Delsupehe KG. indirect larynx and phrynx surgery : a replacement for direct laryngoscopy. Laryngoscope 1996;106: 1280-6.
  9. Amstrong M. Jr, Mark LJ, Synder DS, Parker SD. Safety of direct laryngoscopy as an outpatient procedure. Laryngoscope 1997; 107:1060-5.
  10.  Yanagisawa E, Yanagisawa K. Stroboscopic videolaryngoscopy: a comparison of fiberscopic and telescopic documentation. Ann Otol Rhinol Laryngol 1993; 102:255 – 65.
  11. Shao, Stern J, Wang Z, hanson D, Jiang J. Clinical evaluation of 70 and 90 laryngeal telescope Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2002; 128: 941- 4.
  12. Johns MM. Update on the etiology, diagnosi, and treatment of vocal fold nodules, polyps, and cysts. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surgery 2003; 11 : 456 – 61.
  13. Shohet JA et al. Value of videostrosboscopic parameters in differentiating true vocal cord cysts from polyps. Laryngoscope 1996; 106: 19-26.
  14. Kofman  JA, Amin MR, Postman, GN. Controvercies in laryngology. In : Bailey BJ, Calhoun KH, Healy GB, Johnson JT, Jackler RK, Pillsbury III HC, Tardy Jr. ME, eds. In : Head and Neck Surgery Otolaryngology.3 Ed. Philadelpia : Lippicott Williams & Wilkins. 2001, Vol.1 641 – 7.
  15. Rebeiz EE, Shapshay SM. Benign Lesions of the larynx. In : Bailey BJ, Calhoun KH Healy GB, Johnson JT, Jackler RK, Pillsbury III HC, Tardy  Jr. ME, eds. In Heand and Neck Surgery – Otolaryngology 3 Ed. Philadelpia: Lippncott Williams & Wilkins. 2001, Vol.1: 617 – 26.
  16. Phelps PD. Radiology of the phrynx and larynx. In : Scott-brown’s otolaryngology: Laryngology.5 Ed. Butterworth. 1987;730.
  17. Hill RS, Koltai PJ, Parnes SM. Airway complications from laryngoscopy and panendoscopy. Ann Otol Rhinol Laryngol 1987;96:691 – 4.
  18. Klussmann JP, Knoedgen R, Wittekindt C. Complications of suspension laryngoscopy. Ann Otol Rhinol Laryngol 2002; 111: 972 – 6.
Atau Langsung Unduh Filanya DISINI
Editing By : Enong

0 comments :

Posting Komentar

ALL OF SPACE LINK PAY TO CLIC Or Internet Marketing

JOIN WITH EASYHITS4U The Most Popular Traffic Exchange KLIK ME Please $6.00 Welcome Survey After Free Registration!