Blog ini menyediaakan berbagai macam Aneka Artikel tentang dunis kesehatan, semoga yang sedikit ini membawa banyak manfaat bagi kita semua.
 

IMUNOLOGI DERMATOFITOSIS

IMUNOLOGI  DERMATOFITOSIS
Dr. MOH. IFNUDIN. SpKK.

PENDAHULUAN
Jamur merupakan agen infeksi yang di pandangn seruoa tumbuahan dalam organisasi dan susunannya, mempunyai sifat dimorfisme yang tidak dimiliki bakkteri yaitu kemampuan di alam berbentuk hifa yaitu struktur bercabang seperti ranting (bentuk vegetatif) sedang di dalam jaringan hospes berbentuk bulat atau oval uniseluler (bentuk ragi). Jamur yang bersifat dimorfisme ini dapat berubah bentuk sehingga menyulitkan sistem pertahanan tubuh untuk menaggulanginya. Dinding jamur yang terdiri atas lapisan polsakarida sebagai kapsulnya dan chitin yang terdiri dari N. acetyl glucosamine menyebabkan jamur sulit di basmi oleh sistem imun nonspesifik. Interaksi antara jamur dan respon imun tubuh menetukan timbulnya penyakit jamur.  
System imunitas yang berperan dalam infeksi jamur secara garis besar dibagi atas dua golongan yaitu imunitas bawaan ( innate immunity ) bersifat non spesifik dan imunitas didapat yang spesifik ( acquired immunity ) berupa respon humoral dan seluler.
Pada infeksi jamur, yang pertama berperan adalah imunitas nonspesifik, bila sistem ini gagal, maka sistem imunitas didapat yang spesifik baru bertindak. Infeksi jamur dermatofit yang mengenai kulit, rambut dan kuku disebut dermatofitosis. Termasuk dalam kelompok jamur dermatofitosis ini adalah Microsporum, Tricophyton dan Ephidermopyiton yang senang dengan jaringan yang mangandung karatin seperti kulit, rambut dan kuku karena dermatofit mempunyai ensim keratinase sehinga mampu menghancurkan keratin yang digunakan untuk pertumbuhan.
Pada makalah ini akan membahas berbagai aspek imun tubuh dalam menghadapi infeksi jamur khususnya dermatofitosis.

PATOGENESIS
Invasi jamur dermatofit ke epidermis dimulai dengan perlekatan (adherens) artrokonodia pada keratinosit diikuti dengan penetrasi melalui atau diantara sel epidermis sehingga menimbulkan reaksi dari hospes. Proses perlekatan artrokonodia ke keratinosit pada stratum korneum, memerlukan waktu 2 jam dimana terjadi pertumbuhan artrokonidia dan perpanjangan hifa. Penetrasi ke dalam epidermis disebabkan karena dermatofit bersifat keritinofilik, mempunyai ensim proteolitik keratinase yang dapat merusak keratin dari kulit, rambut, dan kuku.
Untuk dapat menimbulkan penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan tubuh baik non-spesifik  maupun spesifik. Selain itu dermatofit sebagai suatu jamur patogen, harus mampu untuk :
-          Menempel dan menembus kulit atau selaput lender.
-          Bertahan dan menyesuaikan diri terhadap temperature dan lingkungan jaringan hospes
-          Tumbuh, berkembang biak dan mengatasi sisetm pertahanan tubuh non-spesifik dan spesifik
-          Menimbulakan kerusakan jaringan
Kemampuan dematofit untuk menyesuaikan diri di dalam lingkungan jaringan hospes dan mengatasi pertahanan seluler merupakan mekanisme penting dalam pathogenesis dermatofitosis.
Lingkungan di kulit penderita yang sesuai merupakan faktor penting bagi perkembangan dermatofitosis. Kulit tidak utuh akibat trauma, kelembaban tinggi dengan maserasi merupakan faktor yang memudahkan infeksi. Pakaian ketat yang tidak menyerap keringat dapat meningkatkan kelembaban sehingga memudahkan timbulnya Tinea pedis.
Pada masa inkubasi, dermatodit akan tumbuh dan berkembang di stratum, korneum, belum menimbulkan kelainan klinik meskipun pemeriksaan KOH dapat positif. Selain itu, untuk menimbulkan penyakit dibutuhkan keadaan dimana kecepatan pertumbuhan dermatofit sama atau lebih cepat dibandingkan epidermal turn over dari epidermis.
Karatinase atau ensim proteolitik lain yang diproduksi jamur berpangaruh terhadap kolonisasi dan daya dermatofit tersebut. Dermatofit juga memproduksi katalase dan superoxide dismutase yang dapat melawan sistem myeloperoksidase dari sel fagosit.
SISTEM IMUN NONSPESIFIK
Sistem imun nonspesifik marupakan pertahanan tubuh bawaan terdepan dalam menghadapi infeksi jamur oleh karena dapat memberikan reaksi langsung terhadap antigen yang masuk, sedang sistem imun spesifik mambutuhkan waktu untuk mengenal antigen jamur terlebih dahulu sebelum dapat memberikan reaksinya.
Disebut system imun nonspesifik karena tidak spesifik ditujukan terhadap entigen atai mikro-organisme tertentu yang telah ada dan berfungsi sejak lahir.
Komponen penting dalam sistem imun nonspesifik antara lain: 
a.       Pertahan fisik / mekanik berupa kulit dan selaput lendir yang utuh dan sehat
b.      Pertahanan biokimia yang dapat menghambat infeksi jamur dikulit berupa :
• pH asam dari keringat / vagina
• sekresi sebaseus berupa asam lemak
• ensim yang bersifat antimicrobial
Sesudah pubertas, produksi asam lemak jenuh pada kulit kepala menigkat menyababkan inefksi jamur dermatofit pada kulit kepala orang dewasa lebih jarang. Transferin tidak jenuh di dalam serum merupakan serum inhibitory factor (SIF), mampu mengikat ion Fe yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dermatofit.
Alpha macroglobulin keratinase inhibitor menghambat kerja ensim keratinase sehingga dapat menghalangi pertumbuhan dermatofit.
Secara singkat, beberapa faktor non imunologi yang berpengaruh terhadap infeksi dermatofitosis terlihat pada table I :
Table I. faktor non imunologi yang berpengaruh pada pathogenesis dermatofitosis
Level of keratinase  production
Rate of epidermal  turnover
Degree of hydration of the stratum corneum
Presence of abnormal stratum corneum (e.g. ichthyosis vulgaris)
Composition of surface lipid
Presence or absence of hair
Sex of the host



 
 







Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 7
c.       Pertahana humoral
Pertahanan humorial dari sistem imun nonspesifik yang berperan manigkatkan fagositosis dan mempermudah destruksi jamur antara lain : komplemen, C-reactive protein (CRP). 
  Komplemen
Sistem komplemen terdiri dari 11 komponen protein plasma dari sistem imun nonspesifik, beredar di sirkulasi dalam keadaan terpisah dan tidak aktif tetapu setiap waktu dapat diaktifkan oleh bahan seperti antigen, komplek imun dan sebagainya. Hasil aktifasi ini akan menghasilkan berbagai mediator yang bersifat bilogik aktif pada proses peradangan termasuk vasodilatasi, kemotaksis fagosit, opsonisasi, pengeluaran cairan sehingga menghasilkan kerusakan jaringan, menghancurkan mikroba dan lisis sel.
Komplek antigen antibody dapat mengaktifkan system komplemen ini melalui jalur klasik, dimulai dengan aktifasi C1 yang secara berantai akan mengaktifkan komplemen berikutnya sehingga akhirnya semua komponen sampai yang terakhir (C9) menjadi aktif. Hasil akhir dari proses aktifasi komplemen ini adalah rusaknya membran sel.
Aktifasi system komplemen dapat juga melalui jalur alternative dimulai dengan aktifasi C3. Aktifsi dari komplemen akan menyebabkan :
-          Pelepasan factor kemotaktik berakibat sel fagosit tertarik ke daerah infeksi
-          Opsonisasi yang meningkatkan fagositosis
-          Membantu proses metabolisme dalam sel radang dan destruksi agen infeksi.
Jamur dapat mengaktifkan komplemen malalui jalur elternatif, sehingga aktifasi komplemen ini diharapkan dapat :
-          Menhancurkan sel membran jamur
-          Melepas bahan kemotaktik yang mengerahkan makrofag ke tempat jamur.
-          Mengendap di perukaan jamur sehingga mekrofag lebih mudah memfagosit.
Jamur biasanya mempunyai diding kuat berupa chitin yang sulit ditembus oleh mekanisme komplemen ini, sehingga peranan komplemen dalam pertahanan terhadap infeksi dermatofitosis tidak besar terlihat pada table II.
         C reactive protein (CRP)
CRP meningkat pada infeksi akut, dengan  bantuan ion Ca++ dapat mengikat molekul fosforikolin yang terdapat pada permukaan jamur sehingga dapat mengikat komplemen dan memudahkan fagositosis. Adanya CRP yang tetap tinggi menunjukkan infeksi yang persisten.
d.      Pertahanan seluler
Sel dalam tubuh dapat melakukan fsagositosis yang merupakan pertahanan non spesefik terutama dilaksanakan oleh sel mononuclear (monosit dan makrofag), sel polimorfonuklear (PMN) atau granulosit, sel natural Killer (NK).

SISTEM IMUN SPESIFIK
Berbeda dengan system imun nonspesifik, system imun spesifik mampu mengenal agen yang dianggap asing bagi dirinya. Sel yang berperan penting dalam system imun spesifik ini adalah limfosit T dan limfosit B.
Sel limfosit T berperan dalam system seluler sedang sel limfosit B berperan dalam pembentukan imunoglobulin yang penting dalam system imunitas humoral.
Bahan antigen dari jamur dermatofit terdiri dari polisakarida, keratinase, polipeptida, dan asam ribonukleat. Antigen glikopeptida merupakan antigen dengan antigenesis palingkuat dan mempunyai struktur yang mirip dari ketiga genus jamur dermatofit sehingga menimbulkan reaksi silang. Penelitian mengenai respons pada dermatofit yang paling berkembang adalah terhadap Trichophyton dan dianggap dapat mewakili respon imun terhadap dermatofit yang lain.
a.      Sistem imunitas seluler
Sistem imunitas seluler bersifat spesifik, merupakan sistem pertahan tubuh yang penting dalam membasmi infeksi jamur. Penderita dengan imunodifesiensi sistem limfosit T atau mendapat pengobatan imunosupresif akan lebih mudah terinfeksi jamur. Antigen jamur patogen yang pertama kali muncul daalm badan dapat ditemukan bebas atau diikat pada permukaan sel makrofag (antigen presenting cell = APC) untuk dipresentasikan ke sel limfosit T. sering antigen tersebut harus diproses terlebih dahulu, dipecah oleh APC menjadi peptide kecil yang imunogenik sebelum dapat dikenal oleh limfosit T. selnjutnya terjadi interaksi antara antigen yang dibawa  APC dengan limfosit, menyebabkan terjadinya proliferasi, diferensiasi dan mengaktifkan riboson di dalam sel untuk melepaskan mediator limphokines antara lain chemotactic factor, migration inhibitory factor macrophage actifating factor, specific macropage arming factor yang berguna untuk meningkatkan aktifitas biologis berupa fagositosis dan proses peradangan.
Limfosit T akan mengalami profilerasi dan deferensiasi, membentuk populasi sel T yang spesifik, yaitu sel efektor dan sel memori. Sel memori akan tinggal dalam sirkulasi sampai beberapa tahun dan akan cepat menimbulkan respon bila bertemu lagi dengan antigen yang sama. Jadi pada sistem imun spesifik, terjadi sensitasi dari sel limfosit T dan bila sel dikenal lebih cepat untuk kemudian dihancurkannya.
Reaksi imunitas seluler ini meliputi tiga stadiumyaitu :
         Stadium I
Kombinasi antigen dengan limfosit T tersensitisasi spesifik.
Meliputi pengikatan antigen dengan limfosit tersensitisasi dibantu makrofag yang memberi dasar identifikasi terhadap antigen  tertentu.
         Stadium II
Reaksi morfologi dan biokimia .
Merupakan perunbahan morfologi dari  limfosit yaitu transformasi dan mitosis sel limfobas dan perunahan biologi berupa sintese protein dalam DNA dan RNA.
         Stadium III
Ekspresi biologik :
Ekspresi biologi terjadi perubahan dalam stadium I dan II berupa pembangkitan populasi sel limfosit T yaitu sel T helper,  sel T supresor, sel T sitotoksik, sel T yang memproduksi mediator imunitas seluler dan sel memori.
Mediator yang  diproduksi sel limfosit T ini adalah sitokin disebut limfokin antara lain :
-       Chemotactic factor (CF) : menarik monosit / makrofag ke tempat terjadinya infeksi
-       Migration inhibitory factor (MIF) : mengimobilisasi sel makrofag sehigga tetap berkumpul di tempat infeksi.
-       Macrofag actifating factor (MAF) : menigkatkan kemmapuan aktifitas makrofag sehingga lebih ganas.
-       Spesifik macropage arming factor (SMAF) : mempersenjatai makrofag untuk menyerang antigen secara spesifik.
Secara singkat, setelah antigen dengan perantara makrofag sebagai APC bertemu dengan limfosit T maka sel limfosit T akan berdiferensiasi sehingga daapt berfungsi sebgai berikut :
-       Sel T helper membantu sel limfosit B dalam produksi antinodi
-       Sel sitotoksik dan natural killer mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi.
-       Mediator imunitas selular antara lain CF, MIF, MAF, mengaktifkan fagositosis dari makrofag.
-       Sel T mengontrol ambang dan kualitas system imun dengan jalan menekan aktifitas sel limfosit T yang lain dan limfosit B.
Denga cara tersebut erspons peradangan akan meningkat dan di harapkan dapat manggulangi infeksi jamur. Makrofag dengan pengaruh limfokin akan menjadi makrofag aktif yang mempunyai kemampuan fagositosis yang lebih meningkat.
Proses pembangkitan system imunitas seluler ini sifatnya spsesifik akan tetapi mekanisme efektor yang dibawakan sel sel fagosit sifatnya nonspesifik.
Untuk mengetahui system imunitas spssifik yang terjadi dpat dilakukan uji Trichophytin intra dermal pada penderita denga infeksi Trichophytin, reaksi yang terlihat tergantung dari mediator yang berperan seperti terlihat pada table II yaitu :

Reaction
Time
% prevelance
Reaction type
mediator
Wheal
30 min
20
I
Ig E
Papule
2-12 hr
Rare
III
IgG, C?
Papule
1-3 days
50
IV

No reaction
0-7 days
25
-
-
Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 8
Urtika pada 30 menit setelah suntikan menunjukkan reaksi hipertensitivitas cepat (immediate) dengan mediator IgE dan menunjukkan reaksi tipe I terjasdi pada 20% penderita.
Papel yang timbul 2- 12 jam setalah suntikan menunjukkan reaksi tipe III dengan mediator IgC dan komplemen reaksi ini jarang terjdi pada penderita dermatofitosis.
Papel yang timbul 1- 3 hari setalah suntikan menunjukkan reaksi tipe IV dengan mediator sel limfosit tipe I tanpa disertai reaksi hipersensitivitas lambat sering terjadi pada penderita normal dengan Tinea kruris, Tinea kapitis dan Tinea korposis oleh karena Trichophyton rubrum yang kronis dan resisten, atau pada penderita atopi dengan kadar IgE yang tinggi.
Untuk mengetahui imunitas seluler terhadap jamur Trichophyton dapat dievaluasi denga uji Trichophyton intra dermal yang dibaca setalah 48 jam.
Reaksi positif bila terjadi inflamasi dan induras, sebaiknya reaksi negatif bila tidak timbul inflamasi dan indurasi. Sisetm imunitas seluler ini memegang peran penting dalam pertahanan terhadap infeksi dermatofitosis. Hal ini terlihat pada penderita dengan uji Trichophyton intra dermal yang memberikan indurasi dan inflamasi setalah 48 jam,berarti sudah terbentuk imnitas seluler, maka reaksi radang yang terjadi menjadi lebih ringan dan lebih cepat sembuh, dan pemeriksaan KOH atau kultur bias negatif. Hubungan antara hasil uji Trichophyton dengan keadaan klinik penderita dapat dilihat pada tabel III dibawah in :
Test result
Clinical status
Wheal (30 min)

Papole (setelah 48 jam)




No reaction
-         Dermatopithosis
Previously infected, resolved
-         Previously infected, resolved
Resolving infection
Kerion
Id reaction
Inflamtory tinea pedis
-         Never infected
-         Chronic Dermatophytosis
-         Immunodeficiency disea
Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 8
b.      System imunitas humoral
Sel limfosit B merupakan 5 -15 % dari seluruh jumlah limfosit dalam sirkulasi yang berfungsi memproduksi antibody. Sel ini ditandai denga adanya immunoglobulin yang dibentuk di dalam sel dan kemudian dilepas tetapi sebagian menempel di permukaaan sel yang selanjutnya berfungsi sebagai resptoe antigen.
Pada manusia pematangan sel limfosit B terjadi di sumsum tualang, setalah matang bergerak ke limpa, kelnjar limfoit dan tonsil. Atas pengaruh antigen malalui sel limfosit T helper yang memproduksi B-cell growth factor (BCGF) dan B-cell differensiation factor (BCDF), sel limfosit B berfoliferasi dan berdeferensiasi manjadi sel plasma yang mampu memproduksi immunoglobulin dengan spesivitas sama seperti reseptor yang ada pada permukaan sel prekusornya. Di dalam sel plasma akan terjadi proses transaksi yaitu pentransferans informasi genetikauntuk molekul immunoglobulin dari DNA menjadi mRNA sehingga terbentuk antibody yang spesifik.
Infeksi dermatofitosis dapat menyebabkan timbulnya antibody IgG. IgM maupun IgA dan bahkan IgE yang dapat ditunjukkan dengan reaksi presipitasi hemaglutinasi, fiksasi koplemen dan antibody ini akan segera menghilang dari sirkulasi bila infeksi sembuh.
Imunitas humoral mempunyai peranan kecil dalam system pertahanan infeksi ajmur dermatofit, hal ini diy\tunjukkan dengan :
-          Penderita tinea imbrikata denga lesi sangat luas ternyata mempunyai kadar antibody ang tinggi.
-          Penderita atopi degna kadar immunoglobulin E tinggi, sering mn\enderita dematofitosis yang kronis.
-          Penderita dengan infeksi kronis, didapatkan titer antibody ayng tinggi dari IgG, IgM, IgA dan bahkan IgE.
Pada infeksi pertama denga jamur Trichophyton dimana penderita ini pada uji kulit Trichophyton member hasil reaksi cepat (immediate) masih negative, gejala klinik berupa reaksi inflamasi ringan dan terbentuknya skuama sedikit.
Setlah 10 – 15 hari, hasil reaksi cepat dari uji kulit Trichophyton mulai positif maka eraksi keradangan ayng terjad menjadi lebih berat dan terasa lebih gatal. Antigen glikopeptida dari Trichophyton mulai dipresentasikan oleh makropang ke sel limfosit T sehingga terjadi pelepasan sitokin dan mediator inflamasi yang lain yang dapat menghambat sebagian pertumbuhan Trichophyton ini meskipun pemeriksaan preparat KOH dan kultur jamur dari lesi masih positif. Bila sel linfosit T sudah tersensitisasi dan imunitas seluler sudah terbentuk, maka reaksi radang menjadi sangat berkurang bahkan sampai hilang dan bila terjadi infeksi ulang reaksi keradangan yang terjadi ringan dan lebih cepat sembuh, pemeriksaan KOH dan kultur dari lesi sering negatif.

REAKSI ID
Pada dermatofitosis daapt terjadi reaksi id yang biasa disebut dermatophytid berupa reaksi keradangan sekunder di tempat lain dari tempat infeksi dermatofit primer dapat terjadi 4 - 5 %  dari penderita. Lesi reaksi id ini tidak didapatkan elemen dari dermatofi, pemeriksaan KOH dan kultur negative. Mekanisme yang pasti belum diketahui, diduga sebagai respon imunologi terhadap antigen jamur yang diabsorsi sitemik ke dalam sirkulasi.
Bentuk eksema numularis atau erupsi esikuler pada tangan dan kaki berhubungan dengan reaksi lambat (48 jam) yang positif pada uji Trichophytin, sedang bnetuk eritema sentrifugum dan urtikaria berhubungan denan reaksi immediate (20 – 30 menit) yang positif.
KERION
Kerion merupakan reaksi keradangan yang hebat pada dermatofitosis merupakan bentukan seperti tumor. Uji Trichophytin biasanya memberikan reaksi hipersensitivitas lambat positif kuat. Lesi dikulit berupa abscess like diduga manifestasi immediate dari reaksi  hipersnsitivitas tipe lambat.
RINGKASAN
Untuk dapat menimbulkan penyakit dermatofit harus daapt mengatasi system pertahanan non spesifik dan spesifik. System pertahanan non spesifik terdiri dari kulit dan selaput landir yang utuh dan sehat, pertahanan biokimia berupa pH asam, asam lemak dan ensim antimicrobial, pertahana humoral berupa komplemen dan CRP serata system fagositosis seluler.
System pertahanan spesifik yang paling berperan adalah system imnitas seluler yang melibatkan sel limfosit T, limfokin dan sel fagosit. System imunitas humoral yang dihantar oleh antibody dan komplemen mampunyai peranan yang kecil dan lebih diarahkan untuk keperluan diagnosis.


DAFTAR PUSTAKA
  1. Bratawijaya KG. Imunologi dasar. Edisi ke-4. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2000
  2. Roitt I, Brostoff J, male D. Immunology. 4ed. London : Mosby;1996
  3. Hay RJ, Moore M. Mycalogy. In: Champion RH, Burton JL, Burns Da, Breathnach SM, editors. Textbook of Dermatology. 6 ed. Oxford: Blackwell Sciner; 1998.p.1277-350
  4. Jan susilo Imunologi Infeksi Jamur. Dalam : Budimulya U, KUswadji, Basuki S, Menaldi SL, Suriadiradja A, Dwihastuti P, editor. Diagnosis dan penatalaksanaan dermatomitosis. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;1992.h 16-20.
  5. Martin AG, kobayashi. Superficial Fungal Infection. In: freedberg M, Elesen AZ, Wolf KAusten KF, Goldsmith LA SI, et al, editors. Fitzpatrick’s xdermatology in General Medicine. 5 ed. New York: McGraw Hill; 1999.p.2337-58

Atau Unduh Filenya DiSini
Editing By : EnongXp

0 comments :

Posting Komentar

ALL OF SPACE LINK PAY TO CLIC Or Internet Marketing

JOIN WITH EASYHITS4U The Most Popular Traffic Exchange KLIK ME Please $6.00 Welcome Survey After Free Registration!